Hukum Berkurban, Sunah atau Wajib?

Kurban merupakan ritual warisan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Antara/Ari Bowo Sucipto
Pedagang menggiring sapi menuju kendaraan angkut di Pasar Hewan Kandangan, Ngawi, Jawa Timur, Selasa (30/5/2023). Banyaknya pedagang dari Bojonegoro, Magetan, Madiun, dan Sragen yang mendatangi pasar hewan tersebut untuk membeli sapi dan dijual lagi sebagai hewan kurban menyebabkan harga sapi naik, seperti sapi dengan bobot 200 kilogram harganya kini meningkat dari Rp18 juta menjadi Rp20 juta per ekor.
Rep: Rossi Handayani Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurban merupakan salah satu syiar Islam, yang mengisi hari raya besar Islam, hari raya idul Adha. Syariat yang sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim ini, selalu rutin dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam setiap tahunnya. Lantas apa hukum berkurban bagi umat muslim?

Baca Juga


Dikutip dari buku Yang Sering Ditanya Seputar Kurban oleh Ahmad Anshori, Ada dua pendapat ulama tentang hukum berkurban: Pertama, hukum berkurban adalah sunah muakkadah. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama (jumhur). Dalilnya adalah, hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:ْ

إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره

“Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang kalian mau berkurban, maka tahanlah diri anda dari mencukur rambut, dan memotong kukunya”. (HR. Muslim)

Kedua, sebagian ulama seperti Imam Al-Auza’i, Al-Laitsi dan Mazhab Imam Abu Hanifah, berpandangan berkurban hukumnya wajib bagi yang mampu. Dalilnya adalah hadis,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

"Barang siapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, makan jangan sekali-kali mendekat ke tempat sholat kami." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Pendapat kedua ini dipandang lemah karena:

1. Hadis yang menjadi dalil pendapat kedua di atas dinilai lemah (dha’if) oleh para pakar hadis. Karena di antara perawinya terdapat Abdullah bin ‘Ayyas, yang dinilai sebagai perawi yang lemah. Sebagaimana keterangan dari Syaikh Syu’aib al Arn-auth rahimahullah, “Sanad hadis ini lemah. Abdullah bin ‘Ayyas (salah seorang rawinya) yang lemah.

Dia juga mengalami kekacauan dalam periwayatan hadis ini. ”Kemudian beliau melanjutkan, “Syaikh Albani menilai hadis ini hasan dalam Takhrij Musykilah al Faqr. Namun, beliau keliru dalam penilaian tersebut.” (Ta’liq Musnad Imam Ahmad 2/321)

2. Adanya riwayat shahih yang menjelaskan, bahwa Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat lainnya tidak berkurban. Karena mereka khawatir kalau berkurban dianggap suatu yang wajib. Imam Thahawi menyatakan,

Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Suraihah, beliau berkata, “Saya melihat Abu Bakr dan Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- tidak berqurban. Karena tidak ingin orang mengikutinya (pent. menganggapnya wajib).” (Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama 3/221).

Abu Mas’ud al Anshori pernah mengatakan,

“Sungguh saya pernah tidak berkurban padahal kondisi saya mampu. Karena saya khawatir tetanggaku akan berpandangan bahwa berkurban itu kewajiban.” (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Ibnu Umar menegaskan, berkurban bukan sebuah kewajiban. Namun, hanya sunah dan perkara yang ma’ruf.” (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).

Oleh karena itu, yang tepat hukum berkurban adalah sunah muakkadah. Makna sunah dari sudut pandang fikih adalah, amal ibadah yang bila dikerjakan berpahala, bila ditinggalkan tidak berdosa. Namun, bagi yang mampu kemudian tidak berkurban, dihukumi sangat makruh oleh para ulama. Wallahua’lam bis showab.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler