Dedolarisasi Bisa Kurangi Tekanan Rupiah Asalkan Ini Juga Berjalan
Dedolarisasi bisa kurangi tekanan rupiah hanya jika LCS berjalan baik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan kebijakan AS jarang mempertimbangkan dampaknya ke negara-negara berkembang. Menurutnya hal itu akan bermanfaat karena adanya penggunaan mata uang lain selain dolar AS atau dedolarisasi dan akan membantu mengurangi tekanan rupiah.
Hanya saja, Eko menuturkan hal tersebut dapat terjadi jika didukung dengan upaya lain. "Tapi ini (dedolarisasi yang bisa mengurangi tekanan rupiah) hanya terjadi jika kebijakan local currency settlement (LCS) berjalan lancar," kata Eko kepada Republika.co.id, Sabtu (3/6/2023).
Terlebih, Eko menilai saat ini ada kemungkinan dedolarisasi menjadi tren di banyak negara. Hanya saja, Eko menegaskan, dolar AS masih akan mendominasi mata uang dunia dalam jangka panjang ke depan.
Untuk itu, Eko menuturkan tidak akan secara tiba-iba terjadi penurunan drastis dalam pengunaan dolar AS bagi transaksi global. "Bagaimanapun bertransaksi dengan dolar AS sebenarnya lebih praktis," ucap Eko.
Eko berpendapat, penggunaan LCS atau local currency transaction (LCT) untuk pebisnis ekspor impor harus terus disosialisasikan. Pemerintah juga perli memastikan pebisnis juga terlibat dalam penggunaan LCT.
Sementara untuk transaksi ritel juga perlu dipastikan negara yang sudah bekerja sama segera merealisasikannya. "Misalnya dengan QRIS, todak hanya di ibu kota negara lain dan kerja sama dengan banyak negara perlu dilakukan agar ada pilihan alternatif," ungkap Eko.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi penggunaan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) terus meningkat pada 2022. Saat ini upaya sejumlah negara meninggalkan dolar AS dalam transaksi perdagangan atau dedolarisasi mulai ramai dilakukan.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan total nilai transaksi penggunaan LCT dengan negara mitra yakni Thailand, Malaysia, Jepang, dan Tiongkok pada 2022 senilai 3,8 miliar dolar AS. Angka tersebuy meningkat 52 persen dibandingkan realisasi 2021.
"Kenaikannya memang mungkin tidak signifikan tetapi artinya pada masa pandemi ada penguatan LCT," kata Dody dalam Konferensi Pers RDG Bulanan BI pada Januari 2023.
Dody menjelaskan BI akan menggunakan berbagai program untuk akselerasi peningkatan penggunaan LCT. Khususnya dalam memfasilitasi perdagangan dan investasi dengan negara mitra dan memperkuat sinergi dengan otoritas terkait lainnya.
BI juga saat ini menargetkan perluasan LCT dapat dilakukan dengan Korea Selatan dan India. Saat Indonesia sudah menjalin kerja sama LCT dengan Thailand, Malaysia, Malaysia, Jepang, dan China.