Selokan Mataram, Kisah Siasat Cerdik Sultan HB IX Bebaskan Rakyat dari Romusha

Jika tak ada Selokan Mataram, rakyat Ygyakarta dipaksa romusha di tempat lain.

Republika/ Wihdan
Selokan Mataram Kering. Kondisi Selokan Mataram yang kering di Yogyakarta, Jumat (11/10/2019).
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Selokan Mataram, kanal irigasi sepanjang 30,8 km di Yogyakarta ini bukanlah sekadar saluran irigasi biasa. Keistimewaan kanal legendaris yang mengaliri areal pertanian seluas 15.734 hektare tersebut telah merekam cerita bersejarah tentang seorang raja yang sangat mencintai rakyatnya.

Hal tersebut diwujudkan sang raja dengan siasat cerdik berupa diplomasi untuk menyelamatkan rakyatnya dari kerja paksa romusha yang digulirkan Pemerintah Jepang waktu itu. Adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Keraton Yogyakarta yang mempunyai siasat cerdik mengusulkan pada Jepang agar rakyatnya dikerahkan untuk membangun saluran irigasi. Saluran irigasi ini untuk menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak.

Dengan dalih mampu menyetor lebih banyak hasil bumi sebagai logistik, usulan itu diterima bahkan didanai Jepang lalu dibangun pada 1944. Meskipun rakyat harus mengerjakan proyek saluran air buatan tersebut, setidaknya mereka tidak meninggal akibat kelaparan dan romusha. Akhirnya, ribuan rakyat dikerahkan untuk membuat saluran irigasi yang membelah Yogyakarta ini dengan sukarela.

Seperti diceritakan langsung oleh pelaku sejarah dan saksi hidup pembangunan Selokan Mataram bernama Tuban Cokro Sudarmo yang disapa Mbah Cokro. Kakek berusia hampir seabad ini, kini hidup sebatang kara di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah di Dusun Pedak Sinduharjo Ngaglik Sleman.

Ingatan Mbah Cokro masih sangat jelas, usianya 25 tahun kala itu. Ia bersama setidaknya 10 orang sepantaran dirinya diminta Lurah setempat kerja bakti membantu saluran irigasi atas perintah Sultan HB IX. Ia pun tahu jika tidak ikut kerja bakti membuat selokan, dirinya akan hilang di bawa Jepang untuk kerja romusha di tempat lain. Hampir seluruh teman-temannya yang dipekerjakan romusha tidak pernah kembali dalam keadaan hidup.

Baca Juga


 

Mbah Cokro ingat betul lokasi dan kontur tanah di selokan yang digalinya saat itu bisa mencapai kedalaman dua kali tinggi manusia dewasa. Dengan berjalan kaki dari tempat tinggalnya, ia dengan semangat mencangkul membuat selokan di area perkebunan yang kini masuk area Desa Trini Trihanggo Gamping, Sleman.

"Saya dibawa bersama 10 orang sepantaran saya mencangkul selokan di area Dusun Trini sekarang. Kami bersama-sama berangkat pagi dari rumah dengan berjalan kaki menuju lokasi penggalian lalu pulang menjelang malam," tutur Mbah Cokro.

Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY mencatat, Selokan Mataram pernah dinamakan Gunsei Hasuiro atau Yosuiro oleh Jepang yang berarti irigasi pertanian. Selokan yang sudah difungsikan 79 tahun ini dibiayai Jepang seharga 1,6 juta gulden. Pembuatan Selokan Mataram melibatkan lebih dari 1,2 juta buruh yang diupah dan 68 ribu pekerja sukarela seperti Mbah Cokro yang disebut sebagai kerik aji.

Konon, Selokan Mataram juga disebut Kali Malang untuk menahan jangan sampai ada rakyatnya yang diikut dipekerjakan paksa sebagai romusha. Seperti diungkapkan Mbah Cokro, awalnya Selokan Mataram disebut Kali Malang. Dinamakan Kali Malang dimaksudkan Sultan HB IX untuk menghalangi-halangi rakyat Yogyakarta ditarik Jepang kerja romusha.

Dengan meminta rakyatnya membuat saluran irigasi, maka banyak rakyat Yogyakarta yang bisa diselamatkan dari jeratan kerja paksa Jepang.

"Meskipun tidak diberikan upah sama sekali untuk menggali selokan pada waktu itu, tetapi saya bersyukur masih bisa makan dan hidup. Pekerjaan saya hanya mencangkul lalu menaikan tanahnya ke atas sesuai perintah Pak Lurah. Sedangkan yang ikut romusha, banyak yang hilang dan tidak pernah kembali, banyak yang dibunuh," ujar Mbah Cokro.

Sejarawan UGM, Sri Margono mengatakan, cagar budaya Selokan Mataram memiliki sejarah yang sangat panjang dan penting sekali dalam sejarah Indonesia khususnya DIY. Ide dari pembuatan dari kanal tersebut datang dari Sultan HB IX pada masa pendudukan Jepang dengan propaganda romusha yang juga dikenakan pada seluruh rakyat Yogyakarta.

 

Oleh karena itu, Sultan HB IX mencoba berdiplomasi agar rakyatnya tidak terlibat di dalamnya. Salah satu dalihnya untuk persiapan perang itu diperlukan semacam logistik atau bahan pangan yang melimpah agar rakyat tidak kelaparan.

Guna meningkatkan produksi pangan dibutuhkan irigasi yang baik agar persawahan atau tanaman pangan bisa mencukupi dan berhasil dengan panen melimpah, sehingga saluran irigasi itu menjadi sangat penting.

"Diplomasi seperti itulah yang disukai pada waktu itu. Alhasil, rakyat tidak dikirim romusha tetapi diikutsertakan dalam pembuatan irigasi yang dikenal sekarang sebagai Selokan Mataram dan direstui Pemerintah Jepang,” ujarnya.

Margono menuturkan, Sultan HB IX tidak ingin rakyatnya ikut menderita dan sengsara karena romusha sehingga dibuatkan alternatif proyek kanal irigasi tersebut. Ini adalah proyek kanal irigasi yang sangat panjang dan mungkin selokan terpanjang di Asia Tenggara, melibatkan ribuan orang dalam pengerjaannya setiap hari dan bisa diselesaikan.

Namanya dulu belum Selokan Mataram, nama itu baru disematkan belakangan karena kanal irigasi tersebut berada di wilayah Mataram. Ada yang menyebutnya Kali Malang karena sumber utama berasal dari sungai tersebut dan letaknya melintang atau malang.

"Kalau disini umumnya sungai bersumber dari hulu di utara lalu hilir ke selatan. Sedangkan Selokan Mataram melintang melewati sungai-sungai itu. Kemungkinan itu asal usul disebut Kali Malang lantas berubah menjadi Selokan Mataram," ujarnya.

Sri Sultan HB IX (sebelah kiri Presiden Soekarno). - (Bettmann/CORBIS)

Ia menilai bahwa ini suatu diplomasi yang sangat luar biasa dari Sultan HB IX untuk melindungi rakyatnya dari romusha yang menyiksa. Lebih lanjut, Margono mengungkapkan orang yang ikut romusha akan dibawa ke suatu tempat di mana ada proyek pemerintah Jepang. Umumnya banyak yang tidak bisa pulang, mengenaskan dan meninggal.

"Kita bisa bayangkan jika proyek irigasi ini tidak pernah dibuat, sangat mungkin orang Yogyakarta banyak yang keluar dan nasibnya tidak diketahui. Hal ini juga akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama di pedesaan,” ujar Margono.

Kontur tanah di DIY untuk pertanian memang sangat tergantung sungai dan hujan. Sementara sungai-sungai di DIY merupakan daerah aliran lahar Gunung Merapi umumnya sungai-sungai dalam sehingga untuk menjadi irigasi utama harus dibendung. Banyak bendungan di DIY untuk mengangkat dan mengalirkan air untuk mengairi persawahan.

Selokan Mataram dibuat seperti itu dengan melibatkan teknisi berpengalaman tidak hanya panjang kanal tetapi juga berkaitan dengan kontur dari setiap wilayah karena sedari awal hingga ujung tantangan cukup berat mewujudkan kanal ini hingga menjadi sangat fungsional.

“Kita bayangkan periode itu yang notabene masih banyak keterbatasan, hanya dengan pengerahan tenaga kerja yang banyak, maka selokan itu bisa selesai. Ini semacam kamuflase sekaligus proyek strategis dari Kasultanan Yogyakarta yang mampu dikerjakan.

Proyek kanal ini, menurutnya juga semacam perwujudan gotong royong bersama rakyat. Jadi ada ikatan feodal yang dibangun atas struktur kepemilikan tanah apabila raja menginginkan tenaga kerja.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler