'Kalau Ingin Diuji, Harusnya Apakah Sistem Proporsional Terbuka Langgar UUD 1945?'

Pakar hukum sebut harusnya MK uji apakah proporsional terbuka melanggar UUD 1945.

Amin Madani/Republika
Mahkamah Konstitusi
Rep: Wilda Fizriyani Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Beberapa hari ke belakang muncul isu Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan untuk mengubah sistem pemilu 2023 menjadi proporsional tertutup bagi anggota legislatif. Sebelumnya, sistem pemilu Indonesia menganut sistem proporsional terbuka. 

Baca Juga


Isu itu juga menggugah pakar hukum dan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sidik Sunaryo memberikan penjelasan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sudah ditegaskan bahwa sistem pemilihan presiden dilakukan secara langsung sementara pemilihan calon legislatif dan kepala daerah dilakukan secara demokratis.

"Diksi demokratis bisa diartikan langsung maupun tidak langsung, tergantung pembuat UU," kata Sidik.

Menurut dia, ketentuan pemilihan presiden sudah diatur secara tegas dan tidak bisa ditafsir. Sementara itu, pemilihan legislatif belum diatur dengan jelas sehingga menjadi wewenang pembentuk undang-undang untuk mengaturnya (open legal policy). Dalam hal ini dewan perwakilan rakyat (DPR), dewan perwakilan daerah (DPD), bersama dengan presiden.

Sidik menegaskan ranah sistem pemilu berada di wilayah legislatif. Sebab itu, jika ada gugatan judicial review terkait sistem pemilu yang awalnya terbuka menjadi tertutup, kemudian MK menerimanya, maka sebenarnya MK tidak mempunyai kewenangan akan hal itu. Berdasarkan UUD 45 kewenangan, penentuan sistem pemilu ada di tangan legislatif sementara MK merupakan lembaga yudikatif.

Jika MK benar-benar menguji materi dan mengubah sistem pemilu dan dimaknai untuk membuat norma baru dalam UU Kepemiluan, maka MK sebenarnya sudah mengambil alih kewenangan lembaga negara lain yakni legislatif.

"Kalaupun ingin menguji, seharusnya yang diuji adalah apakah sistem terbuka bertentangan dengan UUD 45 atau tidak? Logikanya harus begitu,” ucapnya.

Terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup, Wakil Rektor IV UMM itu menilai keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada proporsional terbuka, calon legislatif tidak ditentukan secara urut sehingga siapapun boleh mendaftar menjadi caleg lewat partai apapun, sekalipun dia orang baru. Sementara itu, pada proporsional tertutup, partai menentukan daftar caleg yang ada.

“Pada sistem proporsional tertutup, misalnya partai A sudah menyiapkan 100 nama caleg. Lalu ternyata suara yang diperoleh hanya cukup untuk 10 orang, maka caleg nomor urut 1-10 berhasil menjadi legislatif. Sementara sisanya tidak berhasil,” katanya.

Menurutnya, dua sistem tersebut baik selama tidak ada dampak negatif seperti politik uang. Peraturan, dalam hal ini UU harus tegas untuk mencegahnya. Begitu juga dengan peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat agar demokrasi bisa berjalan dengan baik.

Sidik mengatakan, sistem pemilu harus sesuai dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Kemudian harus mengandung nilai Ketuhanan karena pemilu sebagai salah satu sarana demokrasi untuk memilih  pemimpin sebagai wujud ibadah kepada Tuhan. Lalu memasukkan nilai kemanusian dengan tidak saling mencela dan menista serta nilai kesatuan dengan menjaga keguyuban.

Selain itu, juga dengan nilai permusyarawatan dan juga keadilan sosial yang harus dipegang teguh. Menurut dia, moralitas demokrasi harus kembali pada nilai ideologi Pancasila dan sistem demokrasi harus pada nilai dasar konstitusi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler