Hasto Tantang Denny Indrayana Ungkap Kecurangan Pemilu 2009 Era SBY
Menurut Hasto, di Pemilu 2009 ada instrumen negara digunakan untuk mendongkrak suara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menanggapi pernyataan mantan wakil menteri hukum dan HAM (wamenkumham) Denny Indrayana yang meminta DPR untuk memeriksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka pemakzulan atau impeachment) dari kursi kepala negara dan kepala pemerintahan. Jokowi dinilai sudah layak menjalani proses pemeriksaan pemakzulan karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Hasto balik meminta Denny mengungkap kecurangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, saat itu ada instrumen negara yang digunakan untuk mendongkrak suara partai politik tertentu.
"Kalau berbicara pemakzulan, Pak Denny saya ajak untuk coba evaluasi pemilu yang terjadi pada 2009. Ketika instrumen negara digunakan, sehingga ada partai politik yang bisa mencapai kenaikan 300 persen," ujar Hasto di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Padahal PDIP, Hasto menjelaskan, dalam pemilu hanya memperoleh kenaikan maksimal sebanyak 8 persen. Di samping itu, ia menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen terhadap demokrasi untuk Pemilu 2024.
"Sehingga janganlah apa yang dulu dilakukan oleh Pak Denny Indrayana merupakan bagian dari rezim pemerintahan saat itu (2009), kemudian dipersepsikan akan terjadi pada pemerintahan Pak Jokowi yang sudah teruji dalam komitmen menjaga demokrasinya," ujar Hasto.
"Karena itulah kami justru meminta Pak Denny Indrayana untuk ungkap, apa yang terjadi pada 2009. Karena di situlah justru terjadi suatu penyalahgunaan kekuasaan secara masif untuk kepentingan elektoral," katanya menegaskan.
Diketahui, Denny Indrayana menyampaikan surat terbuka kepada pimpinan DPR untuk memulai proses pemakzulan Jokowi. Dalam surat tersebut, mantan wamenkumham era SBY itu menyampaikan tiga dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi.
Pertama, Jokowi diduganya telah ikut campur atau cawe-cawe untuk Pilpres 2024. Kedua, Jokowi diduga melakukan pembiaran terhadap upaya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mengganggu kedaulatan Partai Demokrat.
Terakhir, Jokowi diduga menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2024. Denny menilai, indikasi pelanggaran itu sudah tampak dari perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).