Air Mata Salahuddin Kala Dengar Alquran, Sosok yang Sukses Ubah Mesir dari Syiah ke Sunni
Salahuddin al-Ayyubi merupakan pemimpin teladan umat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Lahirnya Al-Azhar Mesir sebagai sebuah universitas terjadi ketika dinasti Fatimiyah berada di puncak kejayaannya, yakni ketika dipimpin Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975 M-996 M). Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Bahkan, menenggelamkan pamor dari penguasa Abbasiyah kala itu.
Kemajuan peradaban pada dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari beberapa aspek atau bidang. Pertama, dalam aspek sosial, baik al-Aziz maupun khalifah Fatimiyah yang lain selalu bersikap toleran kepada para penduduk atau warga non-Muslim. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang diangkat sebagai pejabat keuangan negara.
Dalam bidang ekonomi, menurut M Abdul Karim dalan bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang dikutip Abdul Gaffar menjelaskan, untuk meningkatkan dan menopang kegiatan perekonomian, dinasti Fatimiyah membangun beberapa infrastruktur. Antara lain, membangun jalur terusan dan jembatan sebagai jalur perlintasan atau pendistribusian hasil pertanian.
Dalam bidang arsitektur, dinasti Fatimiyah adalah pelopor didirikannya Masjid Al-Azhar di Kairo. Pada masa kekhalifahan al-Aziz, masjid tersebut juga difungsikan sebagai pusat pendidikan kala itu.
Pada masa dinasti Fatimiyah , sistem pengajaran di Al-Azhar terbagi menjadi empat. Pertama adalah kelas umum, yakni kelas yang diperuntukkan bagi kaum Muslim yang datang ke Al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan metode penafsirannya.
Kedua adalah kelas untuk kaum Muslim yang ingin mengkaji permasalahan keislaman bersama para tutor atau pembimbing kala itu. Ketiga adalah kelas darul hikam. Dalam kelas ini, kuliah diberikan oleh para mubaligh.
Baca juga: Mengapa Tuyul Bisa Leluasa Masuk Rumah? Ini Beberapa Penyebabnya
Selain kalangan pelajar, kelas darul hikam juga diperuntukkan bagi masyarakat umum saat itu. Kelas terakhir adalah kelas nonformal. Kelas ini disediakan untuk kalangan Muslimah yang juga hendak menimba ilmu-ilmu keislaman.
Pada awal berdirinya, semua pihak yang ingin menimba ilmu di Al-Azhar dilarang mempelajari mazhab lain kecuali Syiah. Pada masa itu dinasti Fatimiyah memang menjadikan Al-Azhar sebagai media penyebaran ajaran atau paham Syiah.
Setelah Dinasti Fatimiyah ditumbangkan oleh Salahuddin al-Ayyubi pada 576 Hijriyah atau 1171 Masehi, kegiatan belajar mengajar di Al-Azhar sempat dihentikan. Kala itu, Salahuddin juga berinisiatif untuk memutus penyebaran Syiah di Mesir yang telah berkembang sekian lama.
Pada 665 Hijriyah, tepatnya pada masa dinasti Mamalik (Mamluk), Al-Azhar kembali difungsikan sebagai lembaga pendidikan. Ketika itu, aliran keislaman yang dipelajari Al-Azhar telah diubah menjadi aliran Sunni.
Kemudian, dalam perjalanannya, Al-Azhar tidak hanya fokus dalam pengajaran ilmu-ilmu keislaman, tapi juga merambah ilmu pengetahuan umum, seperti ekonomi, psikologi, kedokteran, matematika, teknik, dan lainnya.
Siapa Salahuddin al-Ayyubi?
Salahuddin al-Ayyubi lahir pada 1138 M di Kota Tikrit, Irak. Ia berasal dari kalangan 'ajam atau non-Arab, tepatnya suku Kurdi. Kondisi dunia Islam saat kelahirannya berada pada masa pancaroba. Ketenaran kekhalifahan Abbasiyah kala itu sedang menurun, sementara Dinasti Saljuk sedang meningkat. Secara de facto, Abbasiyah berada di bawah kendali Dinasti Saljuk.
Setelah lahirnya Salahuddin , keluarga ini terpaksa meninggalkan Tikrit. Sang ayah merasa kelahirannya hanya menyusahkan dan merugikan. Namun, ada seseorang yang menasihati dan berkata, "Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang."
Dari daerah asalnya, keluarga ini berpindah ke Mosul. Najmuddin Ayyub, ayah Salahuddin , menemukan tempat tinggal di kediaman pemimpin besar bernama Imaduddin az-Zanki. Keluarga baru ini disambut dengan hangat dan baik.
Di lingkungan baru, Salahuddin diajarkan menunggang kuda, menggunakan senjata, mempelajari Alquran, menghafal hadits-hadits Nabi SAW, dan belajar bahasa serta sastra Arab.
Ia tumbuh di lingkungan yang sangat mencintai jihad. Murid Nuruddin Mahmud Zanki ini juga dikenal sebagai pribadi yang suka mendengar bacaan Alquran hingga ia sendiri yang memilih para imam shalat. Salahuddin juga merupakan sosok yang teramat lembut hatinya sehingga selalu menetes air matanya saat mendengar dibacakannya ayat-ayat Alquran.
Pada 1169, ia diangkat menjadi wazir (perdana menteri) dan menerima tugas mempertahankan Mesir dari serangan raja latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya saat itu cukup sulit karena sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir, mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian kekuasaan yang disebabkan bentrok antaranak-anak Kalifah untuk posisi wazir.
Baca juga: Masuk Islam, Zilla Fatu Putra Umaga Pegulat WWE Ini Beberkan Alasannya yang Mengejutkan
Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki ke kuasaan atas pasukan Syiah Mesir yang masih berada di bawah khalifah yang lemah, Al-Adid. "Ketika Tuhan memberiku negeri Mesir, aku yakin bahwa Dia juga bermaksud memberiku tanah Palestina," katanya waktu itu.
Salahuddin Al Ayyubi akhirnya berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, menggantikan Dinasti Fatimi yah. Kisah keberhasilannya menyebar ke mana-mana. Satu per satu wilayah di sekitar Mesir jatuh, termasuk wilayah di sepanjang pesisir laut merah dan sebagian jazirah Arab hingga Damaskus di Suriah.
Penaklukan Suriah dilakukan setelah pada 1174, Nuruddin atasan Sha lah uddin sebelumnya di Damaskus meninggal dunia. Ia mewariskan keturunan yang lemah untuk memimpin wilayah tersebut. Atas pertimbangan inilah, Salahuddin kemudian mengambil alih kekuasaan di sana.
Selama dua bulan memerintah Me sir, Salahuddin membuat kebijakankebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berda sar kan mazhab Ahlussunnah waljamaah.
Ia hendak memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlus sunnah waljamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.