Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Anak

Negeri ini gempar mendengar berita pilu.

retizen /Fatimah Azzahra
.
Rep: Fatimah Azzahra Red: Retizen

Negeri ini gempar mendengar berita pilu. Seorang anak berusia 15 tahun diperkosa oleh 11 orang dewasa di Moutong Parigi (Parimo). Entah harus berkata apa atas kasus mengerikan ini. Marah, kesal, sedih jadi satu.


Kekerasan Seksual Berbulan-bulan

Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho dalam jumpa pers di Polda Sulteng memaparkan bahwa perkosaan tidak dilakukan secara massal melainkan secara bergantian sejak April 2022 hingga Januari 2023.

Dilansir dari laman kompas (1/6/2023), korban awalnya menjadi sukarelawan banjir di Parimo. Disana korban bertemu dengan para pelaku. Sesudah menyalurkan bantuan itu, korban tidak langsung pulang ke kampungnya di Poso karena korban dijanjikan pekerjaan oleh para pelaku dengan bekerja di rumah makan. Sejak satu per satu dari 11 pelaku melakukan perbuatan bejat kepada korban dengan berbagai modus.

Diketahui, dari 11 pelaku yang memerkosa korban, tiga orang di antaranya adalah guru, kepala desa, dan anggota kepolisian dari Satuan Brimob. (kompas.com, 31/5/2023)

Karena banyak pihak yang terlibat dengan rentang waktu berbulan-bulan juga iming-iming uang dan pekerjaan, kasus ini memunculkan dugaan adanya prostitusi anak.

Genting

Jika dijadikan alarm, maka kasus ini sudah menjadi alarm lonceng kebahayaan bagi anak. Situasi yang sangat genting. Karena inilah kasus kekerasan seksual terberat sepanjang tahun 2023 dengan daftar panjang para pelakunya pula.

Pilunya, pasca-kejadian perkosaan itu korban mengalami sakit dibagian perut dan vagina. Kemudian mengeluarkan cairan yang membusuk. Setelah diperiksa, ternyata korban menderita tumor ganas dan harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Inna lillahi.

Berdasarkan data Kemen PPPA, pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus). Mengapa semakin kesini kekerasan seksual pada anak malah semakin banyak?

Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, diantaranya sanksi yang tidak memberikan efek jera. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak tidak sampai pada hukuman mati, melainkan hanya dipenjara minimal 5 tahun maksimal 15 tahun dan denda paling banyak 5 miliar. Fakta di lapangan menyatakan banyak kasus yang raib jika tidak dikawal ketat oleh netizen. Uang damai pada keluarga dianggap menyelesaikan masalah tanpa harus menempuh jalur hukum. Wajar jika tidak ada efek jera bagi pelaku dan yang lain pun tak merasa takut akan dihukum jika melakukan hal serupa karena bisa menyelesaikan kasus dengan cara yang sama. Asal ada uang, habis perkara.

Kedua, Polemik perbedaan definisi. Ditengah aparat masih terdapat perbedaan definisi kasus. Perbedaan definisi ini akan berdampak pada hukum yang diberlakukan bagi pelaku. Sebagaimana Kapolda Sulteng Irjen dikritik oleh pihak lain karena memilih diksi persetubuhan anak bukan perkosaan anak. Jika definisinya saja berbeda, bagaimana kita akan berharap keadilan?

Ketiga, cacatnya pengaturan media. Kekerasan Seksual, kejahatan seksual kebanyakan dimulai dari akses pornografi dan pornoaksi. Setidaknya pernah mengakses sehingga terekam dalam memori. Sayangnya, saat ini tak perlu bersusah payah menemukan konten mengumbar syahwat. Salah ketik saja bisa mengantarkan pada situs-situs porno. Atau bahkan bertebaran sebagai iklan saat publik mengakses informasi.

Keempat, rapuhnya sistem pendidikan saat ini. Diakui atau tidak, sekularisme menjadi acuan dalam sistem yang diterapkan termasuk sistem pendidikan. Hingga lahirlah pribadi yang jauh dari agamanya. Title-nya tak mencerminkan wibawa perilakunya. Hidup permisif, hedonis tanpa peduli halal haram, rida atau murka Allah, bahkan tak peduli konsekuensi pahala dan dosa. Wajar jika banyak kemaksiatan lahir yang dilakukan berbagai kalangan.

Islam Solusi Tuntas

Islam datang bukan untuk diasingkan. Ia justru hadiah dari Tuhan sebagai pedoman dalam mengarungi terjalnya kehidupan. Oleh karena itu, islam hadir secara mendetail termasuk mengurusi sistem pergaulan pria dan wanita sebagai tindakan preventif dan kuratif.

Tindakan preventif dalam islam yaitu dengan menerapkan akidah islam sebagai asas dalam sistem yang diterapkan, termasuk sistem pendidikan. Sehingga akan lahir manusia yang beriman dan bertakwa pada Allah swt. Dengan bekal keimanan ini, apapun posisi diri baik sebagai anak, murid, pekerja, guru, kades, kepolisian, semuanya akan selalu merasa diawasi oleh Allah dimanapun. Semuanya akan sadar konsekuensi setiap perbuatannya di dunia dan akhirat. Pahala jika beramal sholeh, dosa dan siksa jika bermaksiat pada Allah.

Dalam sistem pergaulan islam, kehidupan pria dan wanita terpisah. Keduanya boleh berinteraksi hanya dalam kebutuhan yang dibenarkan oleh hukum syara seperti muamalah, pendidikan dan hudud. Allah memerintahkan untuk menjaga pandangan pada pria dan wanita, Allah juga melarang tabarrujj bagi wanita dan melarang pria dan wanita berkhalwat. Interaksi bersifat seksual hanya ada dalam hubungan pernikahan.

Tak hanya mengatur pendidikan dan pergaulan, islam juga mengatur media. Media dalam Islam bersifat sebagai syiar islam. Maka, tidak akan ada konten berbau pornografi dan pornoaksi. Perempuan dalam islam ditempatkan sebagai pihak yang dijamin kebutuhannya oleh para wali. Sehingga ia tak perlu terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga sampai menempatkan dirinya dalam ancaman berbahaya.

Itu semua sebagai tindakan preventif dalam Islam. Sementara jika negara masih kecolongan kasus kekerasan seksual atau semisalnya, maka negara akan menetapkan hukuman tegas yang memberikan efek jera. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.

Sementara kasus perkosaan lebih dari zina, sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.

Khatimah

Inilah solusi tuntas yang Islam tawarkan untuk perlindungan anak secara khususnya dan semua pihak secara umum. Solusi yang datang dari Sang Pencipta dan Pengatur kita. Sudah terbukti kegemilangan penerapannya dalam catatan sejarah.

Wallahua'lam bish shawab.

sumber : https://retizen.id/posts/221821/indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler