Kepala BMKG: Indonesia Keluar dari 10 Besar Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi gas rumah kaca memiliki kecenderungan meningkat dalam beberapa dekade terakhir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) RI Prof Dwikorita Karnawati, mengatakan Indonesia saat ini tidak lagi masuk dalam daftar 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca. Kepastian tersebut menurut Dwikorita didapatkan setelah adanya hasil pemantauan dari alat global greenhouse watch yang memonitor gas rumah kaca.
"Ternyata emisi kita kita di bawah rata rata global. Sebelumnya kita masuk sepuluh besar penghasil rumah kaca di dunia dan ini tidak bagus. Dengan adanya global ini ternyata rata-rata emisi gas rumah kaca di bawah global, sehingga keluar dari sepuluh besar penghasil gas rumah kaca," kata Dwikorita Karnawati dalam Diskusi Temu Bisnis dan Forum Investasi yang bertajuk 'Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim' di gedung University Club UGM, Jumat (9/6).
Dwikorita menyebutkan tahun lalu Indonesia masih masuk dalam daftar sepuluh besar negara penyumbang gas emisi rumah kaca di dunia. Dengan adanya pemasangan alat pemantau emisi gas rumah kaca ini menurut Dwikorita semakin bisa mengontrol emisi gas rumah kaca di tanah air. Ia menyebutkan ada global greenhouse watch yang dipasang di seluruh dunia.
"Alat ini sebagai pengawas atmosfer global. Satu di antaranya ada di BMKG. Tugasnya memonitor gas rumah kaca penyebab utama terjadinya pemanasan global. Kita diharapkan nantinya bisa memahami secara mendalam dimana sumber gas rumah kaca di tingkat lokal. Saya kira perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk memantau dan menganalisis," ujarnya.
Dalam pemaparannya, Dwikorita menjelaskan emisi gas rumah kaca terdiri atas senyawa Co2, Ch4 dan N20 dimana memiliki kecenderungan meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Kekeringan akibat pemanasan global dengan kenaikan suhu bumi 1-2 derajat Celsius telah mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir di belahan dunia.
"Tidak hanya kekeringan, kondisi ketersediaan sumber daya air makin rendah baik di negara maju maupun negara berkembang. Lalu adanya ancaman ketahanan pangan global, krisis pangan semakin menguat dan merata. Diprediksi oleh FAO pada tahun 2050 sekitar 500 juta petani yang menghasilkan 80 persen produk pangan global akan kena dampak, kelaparan dimana-mana, nanti tidak ada negara yang bisa saling menolong, karena kekurangan pangan masing-masing," katanya.
Dampak perubahan iklim ini menurutnya kian nyata sehingga bisa mengganggu kestabilan ekonomi dan politik dunia, bukan hanya dampak pandemi dan perang. Menurutnya perlu dilakukan mitigasi untuk memantau buangan emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim agar dampak pemanasan global bisa dikurangi.
Sementara Senior Vice President of Sustainability PT Astra Agro Lestari, Bandung Sahari mengatakan luasan tanah gambut yang dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia merupakan luasan 8 persen yang ada di dunia. Lahan gambut yang sekarang ini dikonversi menjadi perkebunan sawit memunculkan isu deforestasi yang menyebabkan Uni Eropa memperketat ekspor minyak sawit ke sana melalui aturan deforestasi asal bahan baku minyak sawit.
Menurutnya isu soal deforestasi ini perlu diluruskan sebab perusahaan sawit sebenarnya juga melakukan usaha restorasi lahan, konservasi tanaman langka serta menjaga biodiversitas flora dan fauna di sekitar area perkebunan. "Kita juga melakukan restorasi sungai untuk mitigasi perubahan iklim, restorasi mangrove, melakukan konservasi tanaman hutan langka, karena masih ada biodiversitas yang dipertahankan," katanya.
Sementara Dr Oki Muraza dari SVP Research and Technology Innovation PT Pertamina (Persero) mengatakan Pertamina memiliki beberapa inisiatif untuk mencapai target emisi nol bersih dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca. Keberadaan sumber keanekaragaman hayati dan sebagai produsen minyak nabati dunia diharapkan bisa berkontribusi sebagai usaha sumber penyerap karbon dan penyedia bahan baku untuk kilang hijau.
"Kita mulai berupaya mengurangi emisi metana dan mendorong pemulihan dari penggunaan sumber energi metana. Pemanfaatan etanol dan limbah biomassa dari perkebunan terus didorong dan Pertamina juga telah memulai inisiatif pemanfaatan green hidrogen di Indonesia yang akan menggunakan listrik dari lapangan geothermal pertamina," katanya.