Vladimir Putin Sebut Rusia tak Pernah Tolak Dialog dengan Ukraina

Putin mengeklaim sempat lama berusaha atasi situasi di Ukraina dengan cara damai.

Gavriil Grigorov, Sputnik, Kremlin Pool Photo
Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam pertemuannya dengan delegasi negara-negara Afrika, Putin sebut Rusia tidak pernah menolak untuk mengadakan pembicaraan.
Rep: Kamran Dikarma Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin menerima delegasi para pemimpin beberapa negara Afrika, yang mengemban misi mengupayakan solusi damai untuk konflik Rusia-Ukraina, Sabtu (17/6/2023). Pada kesempatan itu, Putin menjelaskan tentang sikap negaranya terkait perang yang kini masih berlangsung.

Salah satu hal yang ditekankan Putin dalam pertemuan dengan delegasi Afrika adalah tentang kesediaan Rusia untuk melakukan dialog bersama Ukraina.

Baca Juga


"Rusia tidak pernah menolak untuk mengadakan pembicaraan," ujarnya, dikutip kantor berita Rusia, TASS.

Putin menjelaskan, krisis di Ukraina mulai muncul sejak peristiwa kudeta tahun 2014. Kala itu, mantan presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia digulingkan rakyat karena keputusannya menolak bergabung dengan pakta perdagangan Uni Eropa.

Dia justru meminjam bantuan finansial kepada Moskow dan menerima tawaran Rusia untuk bergabung dengan serikat pabean Eurasia. Rakyat Ukraina tak puas dengan keputusan tersebut dan menggelar demonstrasi selama sekitar tiga bulan hingga berujung pada penggulingan Yanukovych pada Februari 2014. Putin mengatakan, Barat mensponsori kudeta terhadap Yanukovych.

"Semua masalah Ukraina muncul setelah kudeta negara, inkonstitusional, bersenjata dan berdarah pada 2014, dan kudeta itu didukung oleh sponsor Barat. Mereka (Barat) tidak ragu untuk membicarakannya dan mereka membicarakannya, bahkan mengungkapkan berapa banyak uang yang telah mereka habiskan untuk persiapan dan implementasi kudeta tersebut. Oleh karena itu, sumber kekuatan penguasa Kiev saat ini adalah kudeta," ucap Putin kepada para delegasi Afrika.

Putin mengatakan, setelah kudeta tersebut, Rusia menawarkan dukungan kepada masyarakat di Donbass. Putin menjelaskan, sejumlah masyarakat di Donbass tidak mendukung kudeta dan menyatakan tidak akan mematuhi pemimpin baru Ukraina.

"Rusia terpaksa membela orang-orang itu, mengingat ikatan sejarah baik kami dengan wilayah serta budaya dan bahasa orang-orang yang tinggal di sana (Donbass). Untuk waktu yang lama, kami berusaha menyelesaikan situasi di Ukraina melalui cara damai," kata Putin.

Saat Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca kudeta tahun 2014, Rusia mengerahkan pasukannya ke Krimea. Putin mengatakan langkah itu dilakukan untuk melindungi warga etnis Rusia di wilayah tersebut yang terancam oleh rezim baru Ukraina.

Kelompok oposisi dari pemerintahan Yanukovych mengecam aksi Rusia. Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat (AS), turut mengkritik keras pengerahan pasukan Rusia ke Krimea.

Di tengah situasi demikian, otoritas Krimea menggelar referendum tentang reunifikasi dengan Rusia. Sebagian besar pemilih (96,7 persen di Krimea dan 95,6 persen di Sevastopol) mendukung gagasan tersebut. Jumlah warga yang berpartisipasi dalam proses referendum mencapai 80 persen.

Pada Maret 2014, Putin menandatangani perjanjian tentang reunifikasi Krimea dengan Rusia. Perjanjian diratifikasi oleh Majelis Federal Rusia pada 21 Maret 2014.

Di lain pihak, Ukraina menolak mengakui kemerdekaan Krimea dan keputusannya bersatu kembali dengan Rusia. Komunitas internasional pun memandang langkah Rusia di Krimea sebagai bentuk aneksasi atau pencaplokan.

Negara-negara yang bersekutu dengan Ukraina dan Rusia. - (Tim Infografis Republika.co.id)


Presiden Senegal Macky Sall dan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa memimpin delegasi Afrika yang didalamnya termasuk pemimpin dari Zambia, Komoro, dan perdana menteri Mesir. Sebelum bertemu Putin, mereka sudah berkunjung ke Kiev dan bertemu Presiden Volodymyr Zelenskyy pada Jumat (16/6/2023).

Dalam konferensi pers bersama, Zelenskyy mengatakan Rusia perlu membekukan perang guna memungkinkan negosiasi. "Saya tekankan sekali lagi, kami membutuhkan perdamaian sejati, dan karena alasan itu, harus ada penarikan nyata pasukan Rusia dari seluruh tanah merdeka kami," ujarnya.

Sementara itu, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan perang harus diselesaikan melalui cara diplomatik. "Hari ini, selama kunjungan kami, kami mendengar serangan rudal. Kegiatan semacam itu tidak bekerja dengan baik untuk perdamaian. Oleh karena itu, kami berbicara tentang perlunya de-eskalasi di kedua sisi sehingga perdamaian menemukan jalan dan menyelesaikan situasi," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler