Sejumlah Remaja Transgender Ini Menyesal Jalani Operasi Ganti Kelamin
Anak tak bisa kembali ke kondisi semula usai jalani operasi pengangkatan payudara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus disforia gender dilaporkan semakin meningkat di Amerika Serikat (AS). Disforia merupakan gangguan psikologis, di mana seseorang merasa tertekan karena ada ketidakcocokan antara jenis kelamin biologisnya dengan identitas gender yang diinginkannya.
Di tengah masifnya kampaye lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang menyasar anak-anak, operasi gender tampak dipaksakan kepada kalangan anak di bawah umur di AS. Operasi ini bisa melibatkan ganti kelamin, menghilangkan payudara, hingga menunda pubertas, namun anak-anak menjalaninya tanpa mengerti konsekuensinya secara utuh karena tak mendapatkan pendampingan psikologis.
Sekitar 1,5 persen remaja Amerika Serikat diidentifikasi sebagai transgender. Angka itu merupakan tertinggi dari semua kelompok umur.
Menurut riset, anak muda cenderung menjadi trans ketika lingkungan pergaulannya ada yang trans. Namun, alasan itu belum bisa disimpulkan sebagai korelasi.
Banyak anak trans kemudian menjalani perawatan hormon. Mereka berharap dapat mencegah dirinya mengembangkan karakteristik gender berdasarkan fitrahnya saat lahir.
Anak laki-laki, misalnya, suaranya tak akan jadi berat, sedangkan anak perempuan tidak mengalami pertumbuhan payudara. Anak-anak itu mendapatkan penghambat pubertas dan obat-obatan yang meningkatkan kadar estrogen atau testosteron.
Pemblokir pubertas digunakan secara off-label untuk menunda pubertas bagi anak-anak yang ingin mengganti jenis kelaminnya. Efek samping obat pemblokir pubertas belum diketahui dengan baik dan itulah yang menjadi kekhawatiran para dokter.
Tubuh sebetulnya masih bisa memproduksi hormon testosteron atau estrogen alami setelah obat pemblokir pubertas. Namun, butuh bertahun-tahun untuk dapat memulihkan produksinya.
Di sisi lain, banyak pula "detransitioner". Ini merupakan istilah untuk anak yang ingin kembali ke gender bawaan lahir.
Mereka menyesali prosedur operasi yang dulu dijalani karena kondisinya tidak bisa dikembalikan seperti semula. Chloe Cole (18 tahun), misalnya, menyesal mendapatkan obat penghambat pubertas dan operasi yang merusak tubuhnya sejak usia 13 tahun.
Cole mengaku bahwa gara-gara operasi ganti kelamin, ia tidak mungkin lagi memiliki anak dan menyusui seperti kaum Hawa pada umumnya. Menurut dia, dia juga bisa berisiko terkena jenis kanker tertentu, seperti kanker serviks, karena perawatan invasifnya.
Luka Hein, detransitioner lainnya, menyesal melakukan operasi pengangkatan payudara ketika berumur 16 tahun. Empat tahun pascaoperasi, dia beralih kembali menjadi wanita.
Hein menyesal dokter terlalu cepat mendorongnya untuk menjalani operasi agar bisa seperti pria. Menurut dia, pengambilan keputusan yang salah bisa dihindari jika dokter mempertimbangkan bahwa dirinya sedang cemas dan depresi serta mendapatkan obat dari psikiater.
"Kalau saja dokter sarankan wait-and-see saja dulu, memastikan saya cukup sehat untuk membuat keputusan, tentu tak ada penyesalan sebesar ini," kata Hein.
Sementara itu, Nona Close mengaku mulai mendapatkan pemblokir pubertas di usia 14. Dia juga mendapat suntikan testosterone yang disuntikkan oleh ibunya.
Pada tahun yang sama, Close mengganti namanya menjadi Leo. Warga Central Valley, California itu menjalani operasi pengangkatan kedua payudara pada usia 15.
Tak butuh waktu lama, Close menyesali operasi tersebut. Dia terpaksa dikurung di kamarnya sepanjang Juni 2020 sambil memulihkan bekas operasinya.
Menurut Close, prosedur operasi membuatnya tak mungkin memiliki anak. Kalaupun bisa mendapatkan keturunan, dia tak bakal bisa menyusui buah hatinya.
Close juga mengaku dirinya rentan kena beragam jenis kanker, termasuk kanker serviks, akibat perawatan invasif semasa remaja itu.
"Tak ada anak yang patut merasakan pengalaman seperti yang saya alami. Persetujuan saya tidak didasari dengan kesadaran penuh akan risikonya," tutur Close kepada petugas Medicaid di Tallahassee pada tahun lalu
Virginia Barat telah menjadi negara bagian terkini yang memperkenalkan undang-undang untuk membatasi perawatan ganti kelamin (gender affirming). Diperkirakan, Virginia Barat memiliki lebih banyak anak transgender per kapita daripada negara bagian AS lainnya.
Dikutip dari publikasi Maret lalu, jika disahkan, RUU tersebut akan melarang resep terapi hormon dan juga obat untuk menekan perubahan pubertas fisik bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, meskipun efeknya masih dapat dibalikkan.
Operasi penggantian jenis kelamin juga dilarang sebagai bagian dari RUU, tetapi dokter mengatakan bahwa hal ini tidak terjadi saat ini di Virginia Barat. Utah menjadi negara lain yang melarang operasi perubahan jenis kelamin dan penghalang pubertas untuk anak-anak.
Utah memimpin gugatan pada bulan Januari dengan menjadi negara bagian pertama yang melarang semua operasi gender untuk anak di bawah umur. Larangan serupa di Alabama dan Arkansas telah diblokir oleh pengadilan.
Undang-undang yang membatasi perawatan kesehatan untuk remaja transgender telah diusulkan di puluhan negara bagian. Tetapi sebagian pihak berpendapat bahwa bukan operasinya yang perlu dilarang, melainkan anak-anak tersebut harus mendapatkan dukungan psikologis dan perawatan tepat.
Kamran Abbasi, pemimpin redaksi British Medical Journal (BMJ), misalnya, menyebut anak disforia gender hanya perlu dukungan psikologis. Sebab anak-anak Amerika dengan disforia gender, menurut dia, kerap menjalani operasi tanpa dukungan psikologis.
Editor jurnal medis bergengsi itu menulis sebuah tajuk rencana di BMJ terkait pendekatan para dokter di AS yang tidak sejalan dengan kedokteran basis bukti. Sementara itu, tenaga dokter di Meksiko, Molly McClain MD MPH, juga berpendapat bahwa perawatan yang tepat akan mengurangi kecemasan anak trans.