Investasi Berbasis Agama, Muslim Punya Andil Terbesar
Oxford Faith-Aligned Impact Finance memproyeksikan nilainya 5 triliun dolar AS.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Church of England Pensions Board memutuskan melakukan divestasi di perusahaan migas Shell. Jika diteruskan mempertahankan investasinya di sana yakni mendorong penggunaan bahan bakar fosil, dinilai tak sesuai dengan strategi mereka membatasi pemanasan global.
Lembaga gereja ini memiliki investasi 1,35 juta poundsterling atau 1,72 juta dolar AS di Shell dari total 3,2 miliar poundsterling. Dalam pernyataannya Kamis (22/6/6/2023), mereka juga akan menarik portofolionya dari perusahaan migas lainnya.
Selain menarik diri dari Shell juga dari BP, Equinor, dan TotalEnergies. ‘’Gereja tak hanya mempercayai sains tetapi juga keyakinan, keduanya menyeru kami untuk mewujudkan keadilan iklim,’’ kata Uskup Canterbury, Justin Welby.
Pensions Board menegaskan tak akan lagi memprioritaskan investasi pada sektor migas. Pertimbangannya soal dampaknya terhadap perubahan iklim. Mereka berencana mengalihkan dana dari investasi di sektor migas ke industri otomotif.
Shell sebenarnya sudah menetapkan target nol emisi karbon pada 2050. Mereka juga memiliki target jangka pendek dan menengah. Namun, mereka menolak desakan agar mencapai emisi nol pada 2030. Juru bicara Shell kecewa dengan keputusan Church of England.
‘’Keputusan tersebut (Church of England) tentu mengecewakan tetapi tak mengagetkan kami,’’ katanya. Pada saat bersamaan, kata dia, Shell benar-benar fokus pada kedisiplinan modal, meningkatkan kinerja, dan memberikan keuntungan kepada pemilik saham.
Paparan aksi divestasi Church of England dari perusahaan migas di atas merupakan gambaran aktivitas lembaga agama atau berbasis agama dalam bisnis global.
Merujuk Annual Report of the Church Commissioners 2022, Church of England memiliki dana investasi 10,3 miliar poundsterling (13,2 miliar dolar AS). Mengutip Financial Times (FT), edisi 20 Februari 2023, aktivitas binis mereka menarik peneliti Oxford.
Para peneliti di Oxford Faith-Aligned Impact Finance (Oxfaif) dalam laporannya pada September 2022, memproyeksikan nilai investasi semacam itu bisa mencapai lima triliun dolar AS di seluruh dunia. Mayoritas, yakni 3 triliun berasal dari dana keuangan Islam.
Sebesar 1 triliun lainnya, merepresantasikan dana-dana swasta yang beredar pasar modal Islam, sedangkan 300 miliar berasal dari keyakinan yang disebut Dharmic, di antaranya Hindu, Sikh, dan keyakinan terkait lainnya.
Investor berdasar keyakinan Kristen sekitar 260 miliar, sedangkan Yahudi 16 miliar dolar AS. Tom Joy, kepala investasi di Komisioner Church of England berharap investasi-investasi kecil yang ia sebut ‘’impact-first’’ akan mengundang mereka yang berkantong tebal ikut.
‘’Saat kami bicara soal investasi ‘impact-first’ kami sudah memikirkan fokusnya apa saja, kemudian menyediakan para manajer investasi yang bisa menarik lebih banyak investasi,’’ kata Joy.
Demi mewadahi investor Muslim yang menginginkan pendekatan berbasis keyakinan agama, Sophia Shepodd Innocenti menjalankan Global Islamic Impact Investing Forum, sebuah payung dan platform diskusi mengenai investasi.
Ia mendirikan wadah ini setelah menyadari investasi Muslim di pasar modal bakal berdampak positif jika fund manager menekankan perhatian lebih pada efek dari investasi tersebut. Hal ini merepresantasikan keyakinan Islam yang melarang riba.
Investor Muslim juga tegas dalam memasuki bidang investasi, dengan tidak menanamkan dananya di sektor judi, alkohol, produksi dan perdagangan senjata. Bahkan Innocenti meyakini investasi Muslim bisa diarahkan dalam mencapai tujuan pembangunan (SDGs) PBB.
‘’Saya menyadari empat tahun lalu bahwa investasi yang sesuai syariah akan cocok dengan SDGs,’’ kata Innocenti. Ia menuturkan, dalam konteks ini, penekanan lebih pada dampak investasi daripada sekadar pakem tradisional selama ini yaitu soal berapa margin keuntungannya.
‘’Anda membuat keputusan dalam berinvestasi khususnya menekankan pada berapa besar dampak sosialnya,’’ ujar Innocenti. Jadi pola pikir investor berubah dari yang semula sekadar berpikir bagaimana uang yang mereka investasikan bekerja.
Dalam hitungannya, jika semua dana Islam mengukur dampak investasi dan menggunakannya dalam hal yang berdampak sosial besar, maka bakal ada cukup dana untuk memenuhi target SDGs PBB pada 2030 mendatang.
Innocenti beralasan, mayoritas investasi yang sesuai syariah bisa diarahkan untuk SDGs. Meski demikian ia memberikan catatan, banyak investasi dana Islam fokus hanya pada properti. ‘’Beberapa gagal karena investor Muslim hanya untuk sektor real estat.’’
Gayle Peterson, dari Oxfaif, mengakui pula dampak investasi lebih dominan dipikirkan investor berbasis agama dibandingkan hanya margin keuntungan. Misalnya, berpikir soal dampak pada lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG).
Ia menambahkan, cara termudah bagi fund manager untuk investor Muslim adalah berpikir di luar kebiasaan seperti yang selama ini berlaku di dunia investasi. Mereka mesti berpikir,’’Dampak seperti apa yang ingin dicapai dari investasi yang kita tanamkan?’’
Tom Joy bahkan mengeklaim organisasinya, Church of England, mungkin berbeda secara komprehensif dari investor biasa. Sebab, Komisioner Gereja menghindarkan diri dari berinvestasi di industri tembakau, alokohol, dan judi. Fokus pada hal-hal baik.
Gayle Peterson menambahkan, tujuan investor berbasis keyakinan agama sesuai dengan SDGs. Artinya kian banyaknya modal yang mereka investasikan bisa membantu mengurangi jurang kemiskinan di negara miskin dan negara industri maju.
‘’Saya pikir, ini sebuah kesempatan yang bisa diraih, dengan landasan keberanian dan belas kasih, sumber daya yang ada,’’jelas Peterson.