Pajak Sebagai Penjaga Stabilitas Ekonomi Nasional
Selain sebagai instrumen pembiayaan pembangunan, pajak juga berfungsi sebagai penjaga stabilitas perekonomian nasional.
Filosofi pajak telah mengalami pergeseran dari yang klasik, yaitu pajak sebagai ototnya negara (taxes are the sinews of the state), menjadi pajak sebagai darahnya negara (taxes are the blood of the state). Dalam negara hukum, kebijakan pemungutan pajak harus memiliki landasan hukum dalam pelaksanaannya. Jika tidak, maka pemungutan yang dilakukan oleh negara tidak termasuk adalam kategori pemungutan pajak, tetapi dianggap sebagai pungutan liar (pungli).
Pajak adalah sebagian harta kekayaan dari masyarakat, yang didasari oleh UUD NRI 1945, wajib diberikan oleh rakyat kepada negara tanpa mendapat kontra-prestasi secara individual dan langsung dari negara (Diamastuti, 2016). Pemerintah menyadari bahwa untuk membiayai pelaksanaan pembangunan tidaklah dapat atau dianggap tidak mungkin hanya mengandalkan pada peningkatan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas) maupun hutang luar negeri atau dari badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah saja. Pembenaran terhadap pemungutan pajak dari warga adalah karena adanya kebutuhan biaya bagi pemerintah untuk menjalankan fungsinya (Shome, 1995).
Fungsi Stabilitasi Ekonomi
Seiring dengan meningkatnya kondisi perekonomian Indonesia, kinerja Penerimaan Pajak terlihat semakin optimis. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenkeu, pada akhir Maret 2023, realisasi Penerimaan Pajak mencapai Rp279,98 triliun atau tumbuh 40,35 persen (year-on-year/yoy). Realisasi tersebut setara dengan 16,30 persen Target Penerimaan Pajak yang ditetapkan APBN 2023. Capaian yang kuat pada periode ini merupakan dampak dari tiga faktor utama, antara lain harga komoditas yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang impresif, serta dampak dari implementasi UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (Kemenkeu, Maret 2023).
Sumber penerimaan negara yang terbesar bersumber dari pajak penghasilan, sehingga pemerintah terus berupaya meningkatkan target penerimaan negara dengan berbagai cara, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak, seperti sunset policy, tax amnesty, pengenaan pajak bagi UMKM dengan PP Nomor 46/2013 (yang diperbaharui dengan pemberian insentif pajak dengan PP No 23/2018). Namun demikian, pemberlakuan tersebut dirasa masih belum memberikan keadilan bagi Wajib Pajak (WP), sehingga dipandang perlu untuk menetapkan UU HPP, yang telah diberlakukan pada tahun 2022 yang lalu.
Dari sisi fiskal, pemerintah berupaya mendorong keberhasilan pelaksanaan UU HPP agar mampu memperkuat sisi penerimaan negara. Upaya peningkatan basis perpajakan, kepatuhan perpajakan, serta perbaikan sistem administrasi perpajakan, menjadi faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan UU HPP. Selain itu, penerapan Core Tax System juga diharapkan dapat mendorong penerimaan negara.
Dalam konteks kebijakan fiskal, pajak juga berfungsi sebagai stabilitasi ekonomi (Soemitro, 1986). Sebagai suatu alat pembangunan, kebijaksanaan fiskal akan efektif berjalan apabila dalam pelaksanaannya didasarkan atas kombinasi tarif-tarif pajak yang tinggi yang dikenakan pada jenis pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Pengenaan tarif pajak yang tinggi ini dapat diterapkan, misalnya untuk menghambat tingkat pengeluaran yang bersifat konsumtif, menghambat laju impor atau melakukan proteksi atau perlindungan terhadap produk-produk dalam negeri yang belum siap untuk melakukan persaingan dengan produk luar.
Pada umumnya kebijakan fiskal, dengan 3 (tiga) instrumen utamanya, yaitu pajak, pengeluaran pemerintah dan pinjaman-pinjaman, digunakan untuk mengatur stabilitas ekonomi dengan sasaran utama untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa disertai dengan gejolak-gejolak inflasi dan resesi.
Kebijakan fiskal dalam kombinasi tarif pajak harus didasarkan pada suatu fleksibilitas yang berada dalam sistem pengenaan pajak, yaitu berupa pembebasan pajak dan pemberian intensif atau dorongan untuk merangsang private investment. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang diambil pemerintah melalui penentuan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN), disamping mempunyai fungsi budgetair, juga berfungsi mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi ke arah yang dikehendaki.
Tax Gap dan Kebijakan Defisit
Kebijakan fiskal membutuhkan sustanabilitas yang dapat bertahan dan mampu merespon perkembangan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur sustainabilitas fiskal adalah celah perpajakan (tax gap). Indikator ini pada dasarnya lebih menekankan defisit sebagai selisih antara penerimaan perpajakan dengan pengeluaran pemerintah. Langkah pertama yang dilakukan untuk menghitung celah pajak adalah dengan menentukan tingkat rasio pajak yang diperlukan untuk menjaga agar rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat stabil atau model ini biasa disebut sebagai sustainable tax ratio (Monogios, 2011).
Kebijakan defisit merupakan kebijakan fiskal ekspansif yang ditempuh pemerintah dalam rangka menstimulasi perekonomian dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, esensi kebijakan defisit merupakan upaya untuk menjaga momentum dan mendorong agar peran APBN dalam menstimulasi perekonomian dapat berfungsi secara optimal. Dan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2020, defisit nasional dibatasi sebesar 3 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan APBN dilakukan dengan prudent dalam rangka menjaga sustainabilitas fiskal, yang pada gilirannya akan mendorong terwujudnya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.