Sudah Jadi Tradisi, Haruskah Kemendikbud Larang Wisuda TK-SMA?
Wisuda SD-SMA harus dipetimbangkan manfaat dan tak harus mewah.
Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Wisuda anak TK, SD, SMP, dan SMA sejatinya bukan hal baru. Ini sudah menjadi tradisi lebih dari 30 tahun lalu, seingat saya.
Banyak alasan yang bisa disebut orang tua, guru, dan anak yang mendukung acara perayaan kelulusan. Salah satu faktor yang dinilai membuat tradisi tersebut lestari ialah karena jumlah anak SMA yang bisa menempuh pendidikan tinggi tidak banyak.
Berdasarkan data Kemenko PMK, ada 3,6 juta lulusan SMA pada 2021. Dari jumlah tersebut, hanya 1,8 juta yang bisa meneruskan studi ke perguruan tinggi. Wisuda SMA pun menjadi bentuk pengalaman yang dianggap perlu dirasakan anak.
Pendapat kontra soal tradisi ini tentunya juga sudah lama ada. Hanya saja, unggahan warganet di media sosial belakangan ini membuatnya semakin nyaring terdengar.
Sebagian warganet merasa terwakili dengan desakan agar wisuda dikembalikan ke jenjang pendidikan tinggi saja, khusus untuk mahasiswa yang lulus kuliah. Mereka bukannya tak hendak mengapresiasi pencapaian anak-anak yang berhasil melewati jenjang pendidikan dini, dasar, menengah, dan atas.
Yang jadi keberatan utama para orang tua tersebut ialah selebrasi yang berlebihan. Anak TK, misalnya, harus beli toga yang jadi barang mubazir setelah acara. Lalu, anak SD, SMP, dan SMA ada dress code tertentu yang perlu bujet khusus dan nilainya tak sedikit.
Belum lagi lokasi penyelenggaraan wisuda dan pengisi acaranya yang menambah besar biaya kegiatan perayaan kelulusan siswa. Anak saya pun baru lulus dari SMA swasta dan ada acara khusus yang disiapkan sekolah di gedung pertemuan dan dimeriahkan artis papan atas.
Tanpa toga, anak-anak memilih untuk tampil kompak dengan busana yang mereka pilih dan disetujui orang tua. Di kelas anak saya, anak laki-laki memakai jas dengan dalaman kemeja putih karena semua memilikinya. Dasinya warna sage, warna yang sempat hits belum lama ini.
Sementara itu, anak-anak perempuan berkebaya warna sage. Pada hari H, warna sage yang muncul tak persis sama. Bahkan, ada yang selendangnya saja yang sage.
Biaya wisuda sudah dicicil sejak awal masuk semester 1, totalnya ratusan ribu. Ada yang protes? Mungkin saja ada, tapi kenyataannya seluruh siswa, kecuali yang berhalangan, mengikuti wisuda.
Pikir saya, ada banyak biaya yang bisa dipangkas kalau artis ditiadakan dan anak-anak pakai baju yang ada saja. Tempat harus tetap disewa memang. Soalnya sekolah tak cukup luas untuk menampung anak lengkap dengan orang tuanya.
Saya juga termasuk yang tak setuju ada wisudaan anak sekolah. Itu dulu, saat anak saya kelas enam dari SD swasta.
Ibu-ibu saat itu heboh mempersiapkan acara kelulusan dengan mencari hotel, dana tambahan, mendesain medali, hingga mem-booking penyanyi usia abege yang sedang naik daun.
Tentunya, saya termasuk minoritas yang berpikir bahwa itu berlebihan. Saya dan suami pun kompromi. Bagaimana pun kita hidup bermasyarakat, ikut arus saja selama sanggup dan mudaratnya tidak lebih banyak daripada manfaatnya.
Bergabung sebagai panitia ternyata bukan jaminan bahwa rencana mayoritas orang tua tersebut bisa dibelokkan menjadi lebih sederhana. Akhirnya, yang bisa saya lakukan ialah mengerahkan apa yang saya dan suami bisa lakukan untuk menghemat biaya.
Kami membantu desain medali, pemotretan buku tahunan, hingga nego honor artis, itu saja. Orang tua lain juga mengulurkan aneka bantuan, termasuk memberikan donasi untuk panti asuhan dan mensubsidi siswa yang kurang mampu.
Acaranya murni buat ajang anak-anak mengekspresikan talentanya. Prosesi seremonial tak menyita waktu.
Oh iya, undangan hanya berlaku untuk satu orang tua jadi kami harus membeli tiket tambahan agar bisa datang berdua. Biaya lagi deh!
Lanjut ke level SMP, anak saya masuk sekolah negeri. Pemotretan buku tahunan sudah berlangsung pada Februari 2020.
Sebelumnya, orang tua diminta menandatangani surat persetujuan/tidak setuju adanya buku tahunan dan acara pelepasan anak kelas 9. Dari 300-an siswa, lima orang tua mereka menolak.
Salah satu yang menganggap itu pungli lalu koar-koar di luar. Sekolah pun didatangi wartawan yang mencoba mengonfirmasi kebenaran kabar soal pungli. Kepala sekolah sampai ketakutan akan dicopot ketika dipanggil Dinas Pendidikan.
Sejalan waktu, kelima ibu tadi akhirnya luluh karena anak-anaknya ingin ada di buku tahunan dan ikut wisuda. Mereka sejatinya keberatan bukan karena kendala biaya, hanya menganggap itu tidak perlu.
Rencana wisuda SMP sebetulnya juga sudah disiapkan di gedung pertemuan. Orang tua yang anggota WOTK otomatis menjadi panitia. Kami bahkan sudah beli seragam. Hanya saja, pandemi melanda.
Acara wisuda sederhana kemudian diadakan di sekolah secara simbolis secara live streaming. Sedihnya, itu benar-benar ala kadarnya, cuma dihadiri tak sampai 30 orang termasuk guru, siswa, dan orang tua murid.
Anak-anak juga tak bisa menggelar acara perpisahan sendiri karena ada PPKM. Masih "untung" ada buku tahunan yang menjadi kenang-kenangan.
Masa SMA pun dilewati 1,5 tahun secara online. Buat kami, itu yang bikin wisuda kemarin mengharukan. Banyak hal yang mereka lewatkan di masa SMA karena pandemi. Rasanya mereka sangat berhak merayakan kelulusannya.
Meski begitu, kuping saya dan suami agak tak bisa menerima ketika lagu "Gaudeamus Igitur" dilantunkan anak-anak paduan suara mengiringi pengalungan medali kelulusan. Bagi kami, lagu itu identik dengan wisuda kuliah.
Ya, wisuda memang sudah membudaya. Akan tetapi, tradisi yang tidak bagus seharusnya dihentikan. Tunjuk saja aspek penyelenggaraan yang perlu dikoreksi jika manfaatnya masih lebih besar daripada mudaratnya.
Kalau kritik utamanya soal biayanya yang memberatkan dan dianggap sebagai pungli, coba kembalikan ke esensi wisuda TK hingga SMA. Esensinya: mengapresiasi sekaligus memotivasi anak untuk semangat melanjutkan studi.
Jadi, bikinlah acara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, nggak usah ngadi-ngadi. Tak ada pelajaran baik yang bisa kita perlihatkan kepada anak-anak andaikan biaya wisuda membuat ayah dan ibu bersungut-sungut, terpaksa berhutang, atau sedih karena tak bisa membayar uang wisuda.
Buat anak-anak yang fear of missing out (FOMO) alias takut ketinggalan keseruan wisuda, ini juga jadi beban mental. Yang ada, kita memperlebar jurang ketidaksetaraan ekonomi ketika berlomba mewah-mewahan wisuda dan buku tahunan anak.
Lebih baik, kekuatan ekonomi orang tua dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan pendidikan buah hati dan anak-anak di lingkungan terdekat. Ingat, biaya pendidikan tinggi sudah semakin berat sejak perguruan tinggi negeri menerapkan skema Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).
Kembali ke soal wisuda, ketika mayoritas orang tua setuju, Kemendikbud akan membuat kebijakan yang tidak populer kalau melarangnya. Sebaiknya, kembalikan ke orang tua di tiap sekolah dan cari saja titik tengahnya agar acara kelulusan bermakna, tidak membebani, dan jadi kenangan manis buat semua.