Naskah Khotbah Idul Adha
Idul Adha menjadi momentum menguatkan tradisi berbagi.
Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA, Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum khutbah dimulai, diharapkan kepada segenap jamaah yang membawa alat telekomunikasi agar dinonaktifkan. Juga selama khutbah berlangsung, supaya tidak menyalakan rokok. Dalam rangka menjaga kekhidmatan ibadah mulia ini, bertoleransi kepada jamaah lainnya, serta menyayangi putra dan putri kita.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَمَاتَ وَأَحْيَا، وَمَنَعَ وَأَعْطَى، وَأَرْشَدَ وَهَدَى، وَأَضْحَكَ وَأَبْكَى؛ ﴿ وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴾ (الإسراء: 111)
اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا ذَكَرَ اللهَ ذَاكِرٌ وَكَبَّرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا حَمِدَ اللهَ حَامِدٌ وَشَكَرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا تَابَ تَائِبٌ وَاسْتَغْفَرَ، اللهُ أَكْبَرُ مَا أَعَادَ عَلَيْنَا مِنْ عَوَائِدِ فَضْلِهِ وَجُوْدِهِ مَا يَعُوْدُ فِي كُلِّ عِيْدٍ وَيَظْهَر.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً أَدَّخِرُهَا لِيَوْمٍ كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْراً، سُبْحَانَ مَنْ لَمْ يَزَلْ عَلِيًّا كَبِيْرًا، سَمِيْعاً بَصِيْراً، لَطِيْفاً خَبِيْراً، عَفُوًّا غَفُوْرًا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا وَسيدَنا مُحَمَّداً عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، بَعَثَهُ باِلْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً، وَدَاعِياً إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا، اللّهُمَّ صَلِّ وسلم وأنعم وبارك عَلىَ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدِ الله، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَن اقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah...
Membaca kisah para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam, bukan hanya asyik dan menarik. Namun juga memberikan pelajaran yang melimpah ruah. Sebagai bekal kita untuk memperbaiki diri dan mengarungi dengan baik dunia yang fana ini.
Salah satu sosok istimewa tersebut, adalah seorang yang dikenal dengan julukan Abul Anbiya’; ayah para nabi dan Imamul Hunafa’; panutan ahli tauhid. Beliau adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Sosok yang istimewa kepribadiannya, ideal dalam membimbing keluarganya dan peduli dengan masyarakatnya. Tiga karakter yang jarang terkumpul secara sempurna dalam diri seorang hamba. Sekalipun ia terkenal sebagai tokoh agama.
Ada orang yang baik ibadah pribadinya, tekun shalat lima waktunya dan rajin mengajinya. Namun sayang ia kurang peduli dengan pendidikan keluarganya. Tidak ramah dengan anak dan istrinya. Minim bakti kepada ayah dan ibunya. Serta renggang hubungannya dengan sanak saudaranya.
Ada pula orang yang baik ibadah pribadinya dan sangat perhatian dengan keluarganya. Namun kepeduliannya terhadap masyarakat sekelilingnya sangat memprihatinkan. Hatinya tidak tergerak untuk berpartisipasi dalam melakukan perbaikan kondisi masyarakatnya.
Sebaliknya, ada orang yang sangat peduli dengan masyarakatnya. Begitu aktif dalam berbagai macam kegiatan kemasyarakatan tanpa kenal waktu. Namun amat disayangkan, ibadah pribadinya keteteran. Lalu anak dan istrinya terbengkalaikan.
Namun ada orang yang lebih parah dibanding semua yang tersebut di atas. Yaitu orang yang ibadah pribadi tak pernah dijalankannya, keluarga selalu diabaikannya dan lingkungan masyarakat tidak sekalipun diperhatikannya.
Jamaah shalat Idul Adha ‘azzakumullah...
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah sosok yang layak dijadikan sebagai teladan, yang memadukan secara apik tiga karakter utama seorang insan. Sempurna ibadah pribadinya. Sempurna dalam membina rumah tangganya. Dan sempurna kepeduliannya terhadap kondisi masyarakatnya.
Karakter Pertama: Kesempurnaan ibadah pribadi
Tidak ada yang meragukan ketangguhan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam menghadapi badai penolakan masyarakatnya terhadap ajaran tauhid yang diusungnya. Namun banyak yang belum memahami, bahwa rahasia ketangguhan itu ada pada curahan taufik Allah kepada beliau, lalu ketekunan ibadah pribadinya.
Allah ta’ala berfirman,
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ
Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim itu adalah panutan dalam kebaikan, senantiasa tekun beribadah kepada Allah, menjauhi ajaran-ajaran sesat dan bukan golongan musyrik”. QS. An-Nahl (16): 120.
Sangat tidak ideal kondisi orang yang rajin mengajak sesama pada kebaikan, namun ibadah pribadinya sendiri teramat rapuh. Rutin ngeshare konten-konten kebaikan di berbagai media sosial, tapi shalat lima waktu dia masih sering telat-telat. Rajin mengajak orang lain untuk menghadiri pengajian, namun ia sendiri tidak tergerak untuk melepaskan diri dari kecanduan gadget.
Pemaparan ini bukan untuk menggembosi semangat berdakwah. Namun untuk mengingatkan, supaya kita tidak seperti lilin yang menerangi area sekitarnya, namun dengan cara membakar habis dirinya sendiri. Alias jangan sampai gara-gara terlampau sibuk memperbaiki orang lain, akhirnya mengabaikan perbaikan diri sendiri.
Allahu Akbar 3x Walillahil hamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.
Karakter Kedua: Kesempurnaan dalam mendidik keluarga
Siapapun yang membaca sejarah kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ia akan dengan cepat menyimpulkan betapa besar perhatian beliau terhadap keluarganya. Bukan hanya perhatian kepada anak dan istrinya, tapi juga terhadap kedua orang tuanya. Bukan hanya perhatian dalam urusan dunia mereka, tapi juga urusan akhirat mereka.
Amatilah ketulusan beliau, ketelatenan dan kelembutannya dalam mendakwahi ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat berhala. Surat Maryam ayat 42 dan seterusnya merekam dengan jelas, begitu sabarnya Nabi Ibrahim mendakwahi sang ayahanda. Mengajaknya merenungkan alangkah tidak layaknya menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, melihat dan tak memberi manfaat apapun. Beliau mengungkapkan betapa khawatirnya bila sang ayahanda menuruti bisikan setan, yang selalu mengajak pada kedurhakaan terhadap Allah ta’ala. Juga betapa sedihnya hati beliau, jika sang ayahanda kelak diazab Allah, gara-gara menuruti bisikan setan.
Ternyata Azar ayah Nabi Ibrahim menolak mentah-mentah ajakan tulus beliau. Bahkan mengancam akan membunuh putranya dengan melemparinya batu. Lalu mengusir pergi sang buah hati dan memutus hubungan dengannya. Namun simaklah apa respon Nabi Ibrahim?
قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا
Artinya: “Ibrahim berkata kepada ayahnya, “Selamat tinggal. Aku pasti akan memohon kepada Allah agar Dia mengampunimu. Sungguh, Rabbku benar-benar Maha Penyayang dan Maha Pengasih padaku”. QS. Maryam (19): 47.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengajarkan kepada kita kepedulian terhadap orang-orang terdekat. Ayah dan ibu, suami dan istri, serta putra dan putri kita. Kewajiban kita pada mereka bukan sekedar memenuhi kebutuhan pokok duniawi belaka. Sandang, pangan dan papan. Namun yang lebih tinggi dari itu semua, adalah perhatian dengan kesalihan mereka. Sudahkah mereka mengenal akidah yang benar? Sudahkah mereka menunaikan shalat lima waktu secara teratur? Apakah mereka sudah bisa membaca al-Qur’an? Apakah mereka telah berperilaku baik? Bertutur kata sopan? Menghargai orang lain? Menyayangi sesama?
Mengabaikan tugas utama membangun berbagai karakter mulia itu dalam rumah tangga, sungguh sangat mengerikan dampak buruknya kelak di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Siapapun yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus sekelompok orang, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan tidak menjalankan amanah itu dengan benar, pasti Allah akan mengharamkannya masuk ke dalam surga”. HR. Muslim (no. 142) dari Ma’qil bin Yasâr radhiyallahu ‘anhu.
Allahu Akbar 2x, walillahilhamdu.
Karakter Ketiga: Sempurna dalam Kepedulian terhadap Kondisi Masyarakat
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah sosok yang paripurna dalam mencontohkan kepedulian terhadap kondisi masyarakatnya. Terutama kondisi keagamaan mereka. Tenggelamnya mereka dalam praktek-praktek peribadatan kepada selain Allah, sangat menggelisahkan hati beliau. Kegelisahan itu beliau salurkan dalam upaya-upaya konkrit untuk mendakwahi mereka. Bukan sekedar merasa prihatin atau banyak mengeluh, tanpa ada aksi yang berarti.
Nabi Ibrahim mengajak masyarakatnya berdiskusi dan berpikir tentang praktek keagamaan mereka selama ini. Beliau menempuh berbagai cara dan memaparkan bermacam argumen untuk menyadarkan mereka tentang kekeliruan ritual penyembahan terhadap berhala. Membandingkan benda-benda besar yang ada di langit dengan kemahabesaran Sang Pencipta alam semesta. Sebab sebesar apapun bintang, bulan, bahkan matahari, maka sejatinya benda-benda itu akan terbenam bahkan akan musnah pada waktunya. Berbeda dengan Allah subhanahu wa ta’ala, yang selalu hidup dan senantiasa mengurusi makhluk-Nya, di manapun dan kapanpun mereka berada.
Nabi Ibrahim bukan hanya menggunakan pendekatan logika yang menyasar akal sehat masyarakatnya. Namun juga menggunakan pendekatan psikologis yang menggugah perasaan dan hati nurani mereka. Allah merekam rentetan proses upaya dakwah tersebut dalam Surat Al-An’am ayat 74-83, lalu menutupnya dengan berfirman,
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ نَرْفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنْ نَّشَاۤءُۗ اِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Itulah argumen yang Kami ajarkan kepada Ibrahim untuk mendakwahi kaumnya. Kami mengangkat derajat siapapun yang Kami kehendaki. Sungguh Rabbmu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui”. QS. Al-An’am (6): 83.
Allahu Akbar 3x, walillahilhamdu.
Hadirin dan hadirat yang kami hormati.
Seorang mukmin tidak cukup sekedar menjadi orang baik. Namun perlu untuk menjadi orang yang menyebarkan kebaikan kepada masyarakatnya. Dia harus menjadi orang yang salih dan muslih. Dia berusaha menginspirasi masyarakat sekitarnya dengan perilakunya yang mengagumkan dan tutur katanya yang menawan. Menarik hati mereka dengan ketekunan ibadahnya, kedermawanannya dalam berbagi, kebaktiannya terhadap orang tua dan keharmonisan rumah tangganya. Dia berupaya menggabungkan antara terpujinya perilaku dan kuatnya argumen, dalam rangka mendakwahi masyarakatnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menolong kita semua, guna merealisasikan misi mulia tersebut. Untuk itu marilah kita berdo\'a kepada Allah ’azza wa jalla:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ.
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما باركت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم إنك حميد مجيد.
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا، وَوُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَوَفِّقْهُمْ جَمِيْعًا لِتَحْكِيْمِ شَرِيْعَتِكَ، وَالْعَمَلِ بِكِتَابِكَ، وَالالْتِزَامِ بِسُنَّةِ نَبِيِّكَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاتُهُ