13 Ribu Orang Misterius Terdaftar Pemilih di Ternate, KPU: Tidak Bisa Kami Hapus
KPU disebut telah mengirim surat ke Dirjen Dukcapil, tapi belum ada balasan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 13 ribu lebih orang tak dikenal tercatat sebagai pemilih atau masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Persoalan ini harus segera diselesaikan karena dinilai membuka peluang terjadinya kecurangan.
Perkara ini pertama kali terungkap dalam Rapat Pleno Terbuka Penetapan Hasil Rekapitulasi DPT Pemilu 2024 di Kantor KPU, Ahad (2/7/2023). Ketika itu, Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU Maluku Utara, Reni Syafruddin Banjar, mengakui ada 13.743 orang tak dikenal di Kota Ternate yang masuk DPT.
Reni menjelaskan, ihwal orang tak dikenal ini diketahui usai KPU Ternate melakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit) ke rumah setiap calon pemilih. Coklit dilakukan dengan membandingkan data Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dengan temuan langsung di lapangan.
Hasilnya, 15.102 calon pemilih di Ternate tidak ditemukan keberadaannya alias misterius. Setelah itu, KPU Ternate melakukan analisis data ganda dan kelengkapan dokumen. Hasilnya, jumlah calon pemilih tidak dikenal berkurang menjadi 13.743 orang.
KPU Ternate lantas meminta pemerintah desa masing-masing mengeluarkan surat pernyataan bahwa 13 ribu orang tak dikenal itu memang bukan warga setempat. Surat itu diperlukan sebagai landasan bagi KPU mencoret mereka dari daftar pemilih.
Namun, pemerintah desa tak merespons. Alhasil, KPU Ternate tetap memasukkan 13.743 orang misterius itu ke dalam DPT, yang penetapannya dilakukan pada 20 Juni 2023.
Reni mengatakan, KPU Ternate tidak bisa mencoret begitu saja 13 ribu lebih orang tak dikenal itu apabila tidak ada dokumen yang menegaskan mereka bukan warga setempat. Sebab, UU Pemilu memerintahkan proses pemutakhiran data pemilih menggunakan pendekatan de jure atau berdasarkan dokumen yang sah.
"Pemilih orang tidak dikenal itu ada data by name by address-nya di SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, milik pemerintah), ada di Sidalih (Sistem Informasi Daftar Pemilih, milik KPU). Sehingga, apa dasar KPU menyatakan orang tak dikenal itu TMS (tidak memenuhi syarat)," kata Reni.
Menurut Reni, mencoret orang tak dikenal tanpa bukti dokumen bisa membuat KPU menghilangkan hak pilih warga negara. Umpamanya, 13 ribu orang tak dikenal itu ternyata muncul saat hari pemungutan suara, mereka tentu tidak bisa mencoblos karena namanya sudah tidak ada dalam DPT.
"Ketika suatu waktu mereka hadir dan tidak terdaftar di DPT, artinya KPU telah menghilangkan hak pilih 13.743 orang," ujarnya.
Respons KPU...
Menanggapi persoalan ini, Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos menyampaikan hal serupa. Pihaknya tidak bisa menghapus warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih meski batang hidungnya tidak ditemukan ketika petugas KPU melakukan verifikasi lapangan. Mencoret nama orang misterius itu harus berdasarkan dokumen yang absah.
Betty mengatakan, persoalan serupa pernah ditemuinya di DKI Jakarta dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya. Banyak sekali warga Jakarta yang sudah berpindah tempat tinggal ke Depok, Tangerang, maupun Bekasi tapi alamat KTP-nya tidak diganti. KPU akhirnya tetap mendaftarkan mereka sebagai pemilih di alamat asal di Jakarta supaya mereka bisa mencoblos.
Bahkan, kata Betty, persoalan serupa kini masih terjadi di Jakarta. Dia mencontohkan warga korban gusuran pembangunan mal di kawasan Menteng Dalam, Jakarta Pusat. Mereka kini sudah pindah tempat tinggal, tapi alamat KTP-nya masih di Menteng Dalam.
"Mereka tidak bisa kami hapus dari daftar pemilih. Saat Pemilu 2019 kami tetap mendirikan TPS di sekitaran situ dan mereka datang untuk menggunakan hak pilihnya," kata Betty kepada wartawan, Selasa (4/7/2023).
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya pandangan berbeda. Plh Ketua Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, persoalan 13 ribu lebih orang tak dikenal masuk DPT ini harus segera diselesaikan. Jangan dibiarkan persoalan ini mengambang. Publik harus dapat penjelasan soal tindak lanjut KPU atas perkara ini.
"Kita akan kawal prosesnya karena tidak boleh terlalu lama," kata Lolly, Senin (3/7/2023). "Ini salah satu pekerjaan rumah karena 13 ribu itu bukan jumlah yang sedikit," ujarnya menambahkan.
Lolly mengatakan, pemilih tak dikenal ini bisa dicoret semuanya maupun sebagian karena DPT masih bisa diubah sebagaimana pernah dilakukan saat Pemilu 2019 lalu. Ketika itu, DPT diperbaiki sampai tiga kali setelah penetapan.
Terkait tindak lanjut persoalan ini, Lolly menyebut KPU telah menyatakan akan membahasnya dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri dan Bawaslu. KPU disebut telah mengirim surat ke Dirjen Dukcapil, tapi belum ada balasan.
Lolly menyebut, dirinya sebenarnya sudah menyampaikan persoalan ini secara langsung kepada Direktur Jenderal Dukcapil. "Kami menyepakati untuk duduk bareng segera. Dirjen Dukcapil responsnya sangat bagus kok kemarin," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu itu.
Bisa tiru Nepal...
Dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, apabila tidak ada tindak lanjut atas 13 ribu pemilih misterius ini, maka hak pilih mereka bisa saja digunakan oleh orang tak bertanggungjawab. Contohnya saat Pemilu 2019, ada 35 orang yang ketahuan mencoblos dengan mengaku dirinya sebagai orang lain.
"Jangan sampai data (13 ribu) pemilih TMS tersebut akhirnya bisa memicu terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemungutan suara nanti," kata Titi, Selasa (4/7/2023).
Di sisi lain, Titi memahami bahwa KPU harus hati-hati dan cermat ketika hendak menghapus seseorang dari daftar pemilih karena menyangkut hak pilih. Sebagai solusinya, Titi menyarankan KPU meniru pendekatan 'dua saksi' yang digunakan di negara Nepal.
"Terkait dengan pemilih TMS yang tidak bisa dicoret karena tidak ada akta autentik, mestinya bisa dibuat terobosan hukum dengan mengatur bahwa sepanjang ada minimal dua saksi yang bisa mengkonfirmasi bahwa memang warga tersebut adalah TMS sebagai pemilih, maka KPU bisa menghapus namanya dari DPT," kata Titi.
Menurut Titi, KPU bisa membuat terobosan hukum semacam itu. Sebab, ketentuan teknis kepemiluan merupakan otoritas KPU. Kendati begitu, Titi mengingatkan agar KPU profesional, transparan, dan akuntabel melakukan penghapusan pemilih dengan pendekatan 'dua saksi' tersebut.
"Implementasinya kan juga bisa dikawal bersama oleh pengawas pemilu ataupun partai politik dan pasangan calon peserta pemilu," kata Pembina pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.