Pengamat: Birokrasi Pengajuan Keringanan UKT Bak Benang Kusut dan Sulit Ditembus

Pengamat menyindir birokasi pengajuan keringanan UKT seperti benang kusut.

Republika/Wihdan Hidayat
Aksi unjuk rasa di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menuntut perbaikan sistem uang kuliah tunggal (UKT). Pengamat menyindir birokasi pengajuan keringanan UKT seperti benang kusut.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi kembali menjadi perbincangan. Meskipun dapat mengajukan keringanan, banding, ataupun upaya semacam lainnya, opsi-opsi itu kerap dikeluhkan dan menuai protes. Birokrasi yang sulit ditembus dan seperti benang kusut menjadi masalah utamanya.

Baca Juga


"Ini banyak jadi keluhan dan menuai protes karena birokrasi pengajuan keringanan itu susah ditembus dan seperti benang kusut," kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, kepada Republika.co.id, Selasa (4/7/2023).

Ubaid melihat UKT yang diberlakukan sejak 2013 hanyalah akal-akalan kampus untuk melegalkan tarif mahal. UKT dinilai sangat memberatkan mahasiswa dan juga orang tua. Terlebih, dalam proses penentuan UKT dan kategori-kategorinya pun kampus-kampus tidak terbuka dan partisipatif.

"Proses penentuan besaran UKT itu gimana? Kemudian besaran biayanya juga tiba-tiba diumumkan tanpa ada mekanisme penghitungan dan pertimbangan yang jelas," ujar dia.

Untuk meniadakan kecurigaan berlebih terkait hal tersebut, Ubaid meminta kampus-kampus untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam menentukan biaya UKT dan pengategoriannya. Dengan demikian, menurut dia, semua pihak dapat merasa dilibatkan dan merasakan kebijakan yang berkeadilan.

“Prosesnya harus terbuka dan partisipatif, sehingga semua pihak merasa dilibatkan dan berkeadilan,” kata dia menjelaskan.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, meminta...

 

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, meminta PTN membuat skema untuk meringankan biaya UKT bagi calon mahasiswa yang tidak mampu. Syaiful menekankan kepada PTN yang menaikkan UKT harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi calon mahasiswanya.

Syaiful juga menilai perlunya evaluasi status badan hukum atau PTN BH apakah kebijakan ini efektif bagi jenjang pendidikan tinggi. Sebab, besarnya biaya UKT ini tidak dimungkiri sebagai salah satu dampak pemberlakuan kebijakan PTN BH.

 

"Mungkin di beberapa kampus dengan resource pengembangan bisnis ekonomi dari kampus yang bersangkutan bisa survive, tapi bisa saja di kampus lain lalu efeknya adalah pembengkakan dari biaya perkuliahan termasuk biaya UKT, ini perlu terus dipantau dan dievaluasi,” ujar Huda kepada Republika.co.id, Senin (3/7/2023).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler