Naik 300 Persen, Kasus TBC Anak di Kota Bogor Capai Ribuan Orang
Kasus TBC anak di Kota Bogor naik 300 persen dan kini mencapai ribuan orang.
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Penyakit Tuberculosis (TBC) pada anak di Kota Bogor mengalami peningkatan sangat signifikan sekitar 300 persen. DPRD Kota Bogor pun mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk melakukan percepatan eliminasi TBC, yang sesuai dengan visi misi Kota Bogor sehat menuju Bogor Kota Ramah Keluarga.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, pada 2022 ada 1.465 kasus TBC pada anak, sedangkan pada 2021 hanya terdapat 462 kasus. Bahkan dari statistik yang ada, Kota Bogor menempati peringkat kedua daerah di Jawa Barat dengan jumlah kasus TBC yang mencapai 3.904 kasus pada tahun 2022 dan 248 kasus kematian.
Untuk itu, Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor, Sri Kusnaeni secara tegas mendorong Aksi Gerakan Eliminasi Tuberkulosis (Aksi GEULIS) yang diinisasi oleh Dinkes Kota Bogor. Dengan harapan bisa menjadi langkah awal Pemkot Bogor dalam menekan angka kasus TBC di Kota Bogor.
“Kami dari DPRD Kota Bogor mendukung penuh Aksi GEULIS ini. Karena sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) melalui Perwali nomor 18 tahun 2023, semoga ini bukan hanya sekedar tertulis didalam kertas tapi kami berharap ini direalisasikan sebaik-baiknya,” ujar Sri, Kamis (6/7/2023).
Sri yang hadir diacara tersebut sebagai perwakilan Ketua DPRD Kota Bogor, mengaku banyak menemui kasus penderita TBC yang jenuh atas proses penyembuhannya. Hal tersebut pun berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pengobatan pasien TBC di Kota Bogor yang pada 2022 hanya menyentuh 70 persen.
Sehingga, lanjut dia, upaya preventif yang dilakukan melalui AKSI GEULIS, diharapkan bisa sejalan dengan upaya pengobatan, agar menurunkan angka penularan dan angka kematian karena TBC.
“Kalau saya melihat munculnya TBC ini ketika saya turun ke lapangan sering menemukan kasus kejenuhan pasien untuk minum obat. Nah ini perlu diberikan pendampingan untuk menjaga mental pasien untuk bersabar dalam proses pengobatan. Upaya pengobatan ini harus sejalan dengan upaya preventif,” jelas Sri.
Ia menyampaikan, persoalan kesehatan, ekonomi dan pendidikan dapat dikatakan sebagai lingkaran buruk yang harus diputus mata rantainya. Sebab, jika masyarakat mengalami persoalan pada kesehatannya, maka akan berdampak kepada terhambatnya pemenuhan perekonomiannya.
Lalu, sambung dia, jika persoalan perekonomian terganggu, maka akan berdampak kepada menurunnya partisipasi pada dunia pendidikan. Akhirnya dengan minimnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, akan berdampak kepada rendahnya pengetahuan akan menjaga pola hidup bersih dan sehat.
“Ini seharusnya bisa kita putus dengan dilakukan aksi geulis ini. Mudah-mudahan ini menjadi percepatan untuk kita semua memastikan kesehatan kebutuhan dasar warga kota bogor bisa dipenuhi sebaik-baiknya,” kata Sri.