Kepala Dusun Jati Jelaskan Tradisi Mbrandu yang Disebut Jadi Pemicu Wabah Antraks
Mbrandu adalah tradisi warga patungan membeli ternak mati mengurangi beban peternak.
REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNGKIDUL -- Tradisi mbrandu di Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul diduga yang menjadi penyebab sebanyak 87 warga terpapar antraks. Menurut Kepala Dukuh (Dusun) Jati, Sugeng, tradisi tersebut memang sudah mengakar sejak nenek moyang mereka. Tujuannya baik, meringankan kerugian pemilik ternak yang ternaknya mati, entah karena sakit atau sebab lain.
"Jadi, warga membantu, kita rembuk bersama. Sapi yang mati itu harganya segini, kita warga berkumpul untuk membantu warga yang punya sapi, 'enteng-entengi' istilahnya,"ujar Sugeng saat ditemui Republika di Dusun Jati, Kamis (6/7/23).
Nantinya sapi yang sudah mati akan disembelih, lalu dijual ke warga dengan harga yang lebih murah dari pasaran. Meski bertujuan baik, tradisi ini rupanya mewajibkan seluruh warga Dusun Jati, yang sebanyak 83 KK, untuk membeli daging yang tidak sehat maupun halal tersebut.
Dusun yang memiliki warga mayoritas non-Muslim tersebut juga mewajibkan warga muslim untuk ikut serta membeli daging. Meski warga Muslim tidak dipaksa untuk mengonsumsi.
"Terserah nanti mau dikasih siapa monggo, tapi tanggung jawab setiap KK harus ikut. Wajib membantu, tapi nggak harus makan, mungkin dikasih ke saudaranya atau yang mau makan," tutur Sugeng.
Dusun Jati memiliki 83 KK dengan sekitar 280 warga, yang sejumlah dari mereka berada di perantauan. Ketika tradisi mbrandu dijalankan dengan menjual sebanyak enam sapi dan enam kambing yang mati karena antraks kepada warga, menurut Sugeng, hampir seluruh warganya mengonsumsi daging tersebut.
Inilah yang menjadi penyebab sebanyak 87 orang menjadi suspek antraks, dengan satu orang lansia meninggal dunia di RS Sardjito. Seorang warga lansia tersebut yang membuka fakta akan penyebaran antraks di dusun ini karena sejumlah tes yang dijalankan rumah sakit.
"Jadi yang sebelumnya diambil sampel darah dan dikasih antibiotik ada 143 orang. Itu belum semua warga karena ada yang berhalangan," tutur Sugeng.
Kendati begitu, Sugeng mengklaim selama ini dusunnya belum pernah mengalami kejadian serupa. Selama ini meski memakan daging sapi yang mati terlebih dahulu, bukan disembelih, warga Dusun Jati tidak pernah terpapar penyakit yang berkaitan dengan hewan seperti antraks.
"Dari sejak dulu belum pernah kejadian penyakit apa pun, baru ini," imbuhnya.
Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, Pembayun Setyaningastutie menjelaskan bahwa saat ini Pemprov DIY dan Pemkab Gunungkidul tengah menggencarkan sosialisasi mengenai bahaya antraks ini. Menurutnya, upaya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan perlu dukungan dari berbagai pihak. Apalagi ini menyangkut perilaku masyarakat setempat yang sudah mengakar kuat.
Ia menegaskan, warga yang memiliki gejala dan semua yang terindikasi harus melapor kepada tenaga kesehatan. Akan tetapi, warga di lokasi tersebut masih ada yang tidak terbuka bahwa mereka telah terpapar.
"Sepanjang keterbukaan informasi dari pasien dibutuhkan. Jadi memang ada juga yang tidak bercerita setelah selesai masa inkubasi sudah kelihatan pusing dan mual," ujar Pembayun.
Baca juga : Bagaimana Hukumnya Konsumsi Bangkai Sapi Berpenyakit Antraks?
Menurut Pembayun, sebaiknya memang pada masa inkubasi atau setelah berkontak dengan ternak segera melapor ke petugas kesehatan. Nantinya mereka akan diberikan antibiotik yang harus diminum dalam masa inkubasi.
Pemberian antibiotik dalam masa inkubasi ini penting untuk mencegah berbagai gejala yang muncul seperti pusing dan mual. Gejala terparah adalah munculnya lesi dan koreng di kulit.
"Makanya penting untuk segera diberi pengobatan, tapi banyak juga yang tidak melapor. Masalah perilaku ini tidak bisa diselesaikan oleh Dinas Kesehatan maupun Pertanian," kata Pembayun.
In Picture: Status Antraks Gunungkidul
Seluruh suspek antraks di Dusun Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Gunungkidul kembali menjalani diperiksa sampel darahnya pada Jumat (7/7/2023). Entomolog Kesehatan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, Rega Darmawan mengatakan, langkah ini diambil guna memastikan suspek tersebut positif antraks atau tidak.
Pada kasus positif antraks diperlukan dua kali pemeriksaan sampel darah atau sero survei. Pada setiap sero survei akan ada penetapan seropositif.
"Positif untuk antraks itu sebenarnya bisa dikatakan positif kalau sudah dilakukan dua kali pemeriksaan dan itu dua-duanya seropositif," jelas Entomolog Kesehatan Dinkes DIY, Rega Darmawan, Jumat (7/7/23).
Ada sebanyak 87 suspek antraks dari 143 orang yang dites serologi Juni lalu. Beberapa dari mereka memiliki gejala antraks, dan sudah diberikan pengobatan antibiotik.
"Apabila sebelumnya sudah diperiksa hasilnya positif, kemudian minimal 10 hari setelahnya diperiksa lagi, dia seropositif lagi, itu artinya positif," tambah Rega.
Berbicara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan, transmisi antraks terjadi saat bakteri B.anthracis yang bersifat zoonosis menjadi spora dan menginfeksi manusia lewat empat cara. Menurut dia, perubahan bakteri antraks menjadi spora bisa bertahan 40 tahun di tanah.
“Spora bertahan lebih dari 40 tahun, spora ini bisa masuk ke manusia dan masuk lewat luka pada tubuh, makanan dan minuman dengan kandungan spora tadi,” kata Imran dalam konferensi pers daring, kemarin.
Menurutnya, bakteri ini bisa dimakan oleh hewan yang kemudian menyebabkan penularan infeksi pada hewan tersebut. Jika hewan terinfeksi itu disembelih dan dikonsumsi manusia, transmisi atau penularan dia sebut bisa sangat terjadi.
“Jadi penularaan ada dua, bisa langsung dari tanah yang ada sporanya, bisa juga masuk melalui hewan nanti sakit dan dikonsumsi daging ke manusia,” ucapnya.
Dia mengatakan, dalam penularan bakteri antraks ke manusia ada empat tipe atau cara. “Pertama adalah antraks kulit. Jadi menempel ke kulit, dan nanti masuknya melalui lesi kulit. Di situ nanti akan timbul seperti melepuh,” kata Imran.
Dia menambahkan, tipe antraks kulit merupakan yang paling banyak di Indonesia. Tipe antraks kedua, antraks saluran pencernaan, terjadi saat penderita makan daging dari hewan tertular dan tidak memasak daging tersebut dengan sempurna.
“Akibatnya sama, melepuh tapi di usus sehingga terjadi pendarahan dan meninggal,” jelas dia.
Jenis ketiga, lanjut Imran, tipe paru-paru atau saat bakteri masuk ke dalam inhalasi. Menurut dia, hal ini terjadi ketika spora antraks terhisap melalui partikel pernapasan dan mencapai dinding alveoli.
Terakhir, antraks jenis injeksi yang diklaim baru dan menyerupai antraks kulit. Namun demikian, kebanyakan kasus antraks injeksi dia sebut ditemukan pada pengguna narkotika.
“Dan case fatality rate dari antraks ini bervariasi. Jadi kalau yang kulit, itu antara 25 persen. Untuk pencernaan cukup tinggi dan bervariasi mulai 25-70 persen,” tutur dia.
Paling berbahaya sejauh ini, lanjut Imran, ada di tipe antraks pernapasan paru-paru dengan case fatality rate hingga 80 persen. “Sehingga ini yang membuat penderita tadi itu cepat untuk meninggal,” kata dia.