KPK Soroti Lemahnya Pengawasan Internal di Ditjen Pajak dan Bea Cukai Kemenkeu
Andhi Pramono disebut KPK sudah menjadi broker atau perantara selama 10 tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, pengawasan internal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai lemah. Hal ini terbukti dari kasus eks Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono serta mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi dan pencucian uang.
"(Kasus) ini sebetulnya menunjukkan kelemahan dalam sistem pengawasan internal di kedua institusi tersebut. Dalam hal ini adalah pajak atau bea cukai," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (7/7/2023).
Alex lantas mencontohkan kasus Andhi Pramono. Dia menyebut, Andhi ternyata sudah menerima gratifikasi berupa fee sebagai broker atau perantara selama 10 tahun.
"Cukup lama juga. Artinya, sebetulnya kalau pengawasan melekat itu berjalan dengan baik tentu kejadian-kejadian seperti ini bisa kita cegah sejak awal," ujar Alex.
Di sisi lain, menurut Alex, praktik korupsi yang dilakukan oleh Andhi maupun Rafael tidak mungkin tak diketahui oleh kolega di instansinya masing-masing. "Secara normatif itu tidak mungkin (seorang pegawai) bisa menghimpun kekayaan yang sedemikian besar dan kami meyakini tidak mungkin rekan sejawat atasan atau pimpinannya itu tidak tahu," ungkap dia.
Sebelumnya, KPK resmi menahan Andhi Pramono terkait kasus gratifikasi dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dia diduga memanfaatkan jabatannya sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Makassar untuk menjadi broker atau perantara bagi pengusaha di bidang ekspor impor sejak tahun 2012-2022.
Dalam kurun waktu tersebut, Andhi menerima uang mencapai Rp 28 miliar sebagai bentuk fee. Dia menerima duit gratifikasi itu melalui transfer ke rekening beberapa orang kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor impor dan pengurusan jasa kepabeanan yang bertindak sebagai nominee.
Dari total uang tersebut, Andhi diduga menyembunyikan sekaligus menyamarkannya dengan membeli sejumlah aset. Hal inilah yang menjerat dirinya atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain itu, Andhi juga diduga menggunakan rekening ibu mertuanya untuk menerima gratifikasi. Uang tersebut kemudian dia pakai membeli berbagai keperluan keluarganya. Di antaranya dalam kurun waktu 2021 dan 2022 ia membeli berlian senilai Rp 652 juta, polis asuransi senilai Rp 1 miliar, dan rumah di wilayah Pejaten, Jaksel seharga Rp 20 miliar.