Evaluasi PPDB 2023, DPRD Jabar Nilai Pelaksanaan Masih Banyak Kebocoran

DPRD Jabar menilai pelaksanaan PPDB 2023 masih banyak kebocoran.

ANTARA/Raisan Al Farisi
Massa dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Jawa Barat melakukan aksi tolak mahalnya biaya sekolah. DPRD Jabar menilai pelaksanaan PPDB 2023 masih banyak kebocoran.
Rep: Arie Lukihardianti Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Abdul Hadi Wijaya melakukan evaluasi pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMK, SMA dan SLB di 2023 ini berdasarkan pemantauan di lapangan. Menurut Abdul Hadi, pihaknya melihat pelaksanaan PPDB masih banyak terjadi kebocoran.

Baca Juga


Abdul Hadi mengatakan, sistem PPDB yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud) harus dievaluasi secara menyeluruh. Karena ternyata masih banyak oknum masyarakat yang mengakali skema ini. Terlebih kesalahan yang sama selalu terulang di setiap pelaksanaan PPDB.

“Klasik sebenarnya. Saya belum melihat ada pergeseran serius dalam penanganannya,” ujar Abdul Hadi yang akrab disapa Gus Ahad, Ahad (9/6/2023).

Gus Ahad mencontohkan, seperti jalur prestasi melalui nilai raport. Ternyata ada perbedaan standardisasi antar sekolah di SMP. Sehingga anak yang sejatinya pintar tetapi karena sekolahnya tidak ‘royal’ terhadap nilai.

Akhirnya, berujung menyulitkan anak masuk ke sekolah sesuai keinginannya. Tidak hanya itu, jalur prestasi dari olahraga juga dinilainya belum baku karena ada perbedaan apresiasi antara jalur KONI dan KORMI.

Belum lagi sistem zonasi, kata dia, kuotanya hampir 50 persen di setiap sekolah. Sejauh ini dari hasil pemantauan Komisi V kata Hadi, banyak orangtua yang mengakali dengan pindah alamat sementara ke dekat sekolah dimana mereka inginkan.

“Ternyata banyak yang mengakali pindah KK (Kartu Keluarga). Setelah masuk (sekolah), kembali ke alamat lama. Secara hukum ini tidak ada yang dilanggar. Tapi banyak dikeluhkan. Sekolah juga tidak bisa melakukan pengecekan, karena tidak ada kewenangan. Ini harus jadi bahan evaluasi,” paparnya.

Paling parah, kata Hadi, adanya dugaan jual beli kursi di sekolah. Celah ini muncul karena tidak ada standar baku akan jumlah kursi tiap kelas di masing-masing sekolah. Rerata kata dia, sekolah menyediakan 32-36 kursi di tiap kelas.

Namun, dalam PPDB mereka hanya menyertakan kuota 32 kursi. Sementara sisa empat kursi, terindikasi diperjualbelikan. “Ada indikasi dijualbelikan. Makanya harus disebutkan sejak awal. Kalau ruang kelas ada 36 kursi, ya 36 sejak awal," katanya.

Gus Ahad berharap, Inspektorat (Kemdikbud) melakukan pengontrolan terhadap jumlah siswa yang masuk (PPDB) dan hadir harus sama.

"Ini masih banyak terjadi, termasuk (siswa) titipan. Saya komunikasi dengan komite sekolah, praktisi pendidikan, kepala sekolah, ternyata masih ada pejabat tertentu (memanfaatkan) fasilitas yang ada,” paparnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler