Warga Curhat Adiknya Terlempar dari SMAN 68 Salemba Karena Usia
Seorang warga sedih adiknya tak bisa masuk ke SMAN 68 Salemba karena usia masih muda.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuai berbagai persoalan di berbagai daerah termasuk di Jakarta. Seorang warga Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, berinisial K (28) yang membantu adiknya mengikuti seleksi PPDB untuk masuk ke SMA negeri harus menerima kenyataan sang adik tak diterima di SMA negeri mana pun berdasarkan sistem zonasi dan jalur lainnya.
“Adik saya nggak dapet sekolah (negeri). Kacau. Akhirnya masuk sekolah swasta,” kata K kepada Republika, Senin (10/7/2023).
Seperti diketahui, jalur zonasi PPDB merupakan jalur seleksi bagi calon peserta didik dengan memperhitungkan jarak dari tempat tinggal menuju sekolah yang dituju. Ada zonasi prioritas satu, dua, dan tiga dalam jalur tersebut. Jalur ini menjadi jalur dengan proporsional paling banyak untuk ketimbang jalur lainnya, yakni mencapai 50 persen untuk jenjang SMA.
Untuk jalur zonasi, kriteria yang dilihat pertama adalah masuk ke zonasi prioritas berapa tempat tinggal calon peserta didik. Sementara yang kedua usia peserta didik. Lalu yang ketiga urutan sekolah saat memilih sekolah tujuan. Terakhir, waktu pendaftaran. Tidak ada nilai yang dilihat dalam seleksi jalur zonasi.
Kebijakan tersebut membuat adik dari K sulit untuk mendapatkan sekolah lewat jalur zonasi atau prioritas. Sebab, dari lima sekolah yang bisa dipilih olehnya berdasarkan jalur zonasi, yakni SMA Negeri 68, SMA Negeri 27, SMA Negeri 22, SMA Negeri 43, dan SMA Negeri 3, tidak ada satu pun sekolah yang berstatus prioritas pertama. Semuanya prioritas ketiga.
“Misalnya saya ada satu sekolah prioritas pertama atau dua, tapi jelek dan saya nggak mau, itu beda cerita kan. Nah ini semua prirotas ketiga. Kek mana lah,” kata K sembari menunjukkan foto laman pendaftaran PPDB yang sempat dia foto beberapa waktu lalu.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Akhirnya, ketika memilih daftar sekolah tujuan, dia mengisi SMA Negeri 68 di urutan pertama, SMA Negeri 4 di urutan kedua, dan SMA negeri di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, pada urutan ketiga. K tidak begitu mengingat pilihan ketiga yang dia pilih. Dia mengikuti cara memilih sekolah yang masuk zonasi di urutan pertama, dan dua sisanya masuk lewat jalur prestasi.
Selain terkendala tak mendapatkan satu pun sekolah dengan zonasi prioritas satu dan dua, adiknya pun terkendala oleh nilai rata-rata yang tak begitu besar karena bersekolah di salah satu SMP negeri terbaik di Jakarta Pusat, yang dia sebut memang sulit untuk mendapatkan nilai bagus karena pemberian nilai yang ketat.
Di samping itu, usia adiknya juga terbilang lebih muda ketimbang pesaing-pesaingnya di SMA Negeri 68. Menurut K, yang masuk ke sekolah yang terletak di Salemba, Jakarta Pusat, itu memiliki rata-rata usia 16 tahun ke atas. Sementara adiknya belum mencapai usia 16 tahun.
“Kalau mau main tua-tuaan umur gitu sedih juga yang lahir awal tahun kan, padahal tahunnya masih sama,” kata dia.
Karena tak mendapatkan satu pun sekolah negeri, K dan keluarga berencana memasukkan adiknya ke salah satu sekolah swasta dengan kualitas bagus. Dia sudah mengecek daftar sekolah swasta yang bagus berdasarkan peringkat menurut LTMPT dan sudah mengontak beberapa. Ada yang sudah penuh kuotanya dan mamatok biaya mahal untuk masuk sekolah, bisa mencapai lebih dari Rp 10 juta.
“Saya nggak bisa bayangin aja sih misalnya saya ada di kondisi ekonomi yang nggak memungkinkan buat bayar uang pangkal, adik saya sekarang rencananya sekolah di swasta yang uang pangkal pertama masuknya sekitar Rp 6 juta, apa yang harus saya lakukan?” kata dia.