Pulang Haji Masih Simpan Uang Riyal, Apakah Halal Menukarnya di Money Changer?

Islam telah mengatur tentang penukaran uang.

Antara/Galih Pradipta
Warga mengantre untuk menukarkan mata uang asing di sebuah money changer (Ilustrasi).
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru pulang haji, jamaah ada kalanya masih menyimpan uang riyal. Bagaimana hukumnya menukarkan mata uang asing di money changer?

Pimpinan Ar-Rahman Qur'anic Learning (AQL) Center, Ustaz Bachtiar Nasir, pernah menjelaskan kepada Republika bahwa dalam kitab fikih Islam, jual-beli mata uang ini disebut al-sharf. Dan dalam istilah fikih kontemporer disebut al-tijarah bil al-'umlat (jual-beli mata uang).

Pada masa awal dan kejayaan Islam, mata uang itu hanya dalam bentuk emas yang dinamakan dinar dan perak yang dinamakan dirham. Namun, zaman sekarang kebanyakan mata uang berbentuk nikel, tembaga, dan kertas yang diberi nilai tertentu.

Para ulama menjelaskan, pada dasarnya al-sharf hukumnya boleh, sebagaimana jual beli lainnya, selama tidak mengandung unsur riba, gharar, dan spekulasi, serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam syariat. Hadist Nabi Muhammad SAW menjelaskan ketentuannya.

Baca Juga


Pertama, jual beli atau transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai. Artinya, setiap pihak harus menerima dan menyerahkan mata uang masing-masing pada saat terjadinya transaksi.

Tidak sah jual belinya jika salah satu pihak tidak menerima atau menyerahkan mata uangnya. Sebab, ini akan termasuk riba yang diharamkan oleh Allah SWT.

Dari 'Ubadah bin al-Shamit, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar secara kontan (tunai). Dan, jika jenis barang itu berbeda, silakan engkau memperjualbelikannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai)" (HR Muslim).

Dalam hadist lain disebutkan, dari Abu Minhal, ia berkata, "Saya bertanya kepada al-Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam tentang al-sharf (jual beli uang), maka mereka berkata: Pada zaman Rasulullah SAW kami adalah pedagang dan kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang al-sharf itu. Beliau bersabda: Jika dilakukan dengan cara tunai maka tidak apa-apa dan jika dilakukan penundaan (ditangguhkan penyerahan salah satu uang tersebut) maka tidak boleh" (HR Bukhari).

Kedua, jika pertukaran itu dalam mata uang yang sama, nilainya harus sama dan tidak boleh ada yang dilebihkan. Misalnya, rupiah dengan rupiah maka nilai nominalnya harus sama, tidak boleh menukar Rp 1.000 dengan Rp 1.100 karena itu termasuk riba yang disebut dengan riba al-fadhl.

Sedangkan, jika mata uangnya berbeda, seperti rupiah dengan dolar AS, hanya disyaratkan transaksi itu harus tunai dan ada serah terima antara pembeli dan penjual pada saat transaksi.

Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW, dari Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah bersabda, "Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah engkau menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya, dan janganlah engkau melebihkan satu dengan yang lainnya, dan janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak ada (gaib) dengan sesuatu yang ada di tempat (najiz)," (HR Bukhari).

Ustaz Bachtiar menyimpulkan, boleh hukumnya membuka usaha tukar-menukar uang (money changer), selama memperhatikan dan melaksanakan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Tujuannya agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan riba yang diharamkan dan sangat dibenci Allah SWT.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler