Pandu Riono Salahkan IDI Menolak RUU Kesehatan dan tidak Mau Berkomunikasi
Pandu membantah pembahasan RUU Kesehatan di DPR cacat prosedur.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, memang ada banyak aturan yang harus diubah dalam bidang kesehatan. Sebab itu, pihaknya memuji langkah DPR yang berani memutuskan dan menginisiasi UU tersebut.
Menyinggung berbagai pihak soal pembuatan UU Kesehatan cacat prosedural, Pandu menampiknya. “Jadi kalau disebut cacat prosedur, nggak cacat. Yang salah adalah yang mengatakan menolak, artinya tidak mau berkomunikasi, memberikan saran karena semuanya ditolak, dianggap nggak benar. Kan suatu kesalahan menurut saya dari teman-teman IDI,” kata Pandu dalam diskusi daring di acara bertajuk ‘Menanti Arah Baru Layanan Kesehatan Masyarakat’ Sabtu (15/7/2023).
Dia mengkritik IDI yang terus menyatakan penolakan atau tidak bisa diimplementasikan. Meski mengakui masih ada pekerjaan rumah dalam menterjemahkan UU Kesehatan, Pandu menyarankan IDI ikut berkontribusi mematangkan aturan yang ada.
“Jadi nggak usahlah melakukan upaya-upaya yang kemudian akan kontra produktif. Lebih baik kita masih mempunyai kesempatan untuk mengisi peraturan pemerintahnya,” jelas dia.
Dalam penjelasannya, Pandu mengaku kerap diundang DPR untuk memberikan masukan soal perbaikan UU Kesehatan. Kepada awak media, dia bahkan menyebut dirinya sebagai salah satu pihak yang meminta perubahan UU sejak 2020. Menurut dia, alasan itu karena pengalaman pandemi yang membuktikan Indonesia kesulitan dengan aturan tumpang tindih.
Sebab itu, Pandu meminta para menolak UU Kesehatan baru untuk berperan dalam pembuatan aturan turuannya seperti PP atau Permenkes untuk implementasi lebih detail. “Jadi jalan masih panjang untuk kita mewujudkan supaya pelayanan kesehatan kita sesuai dengan harapan bersama. Ini menurut saya kompleks betul," katanya
Di lokasi yang sama, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa mengatakan, pihaknya bisa menerima rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan saat masih dalam pembahasan dengan Badan Legislatif (Baleg DPR). Menurut dia, saat pembahasan, Baleg, memiliki pemahaman yang baik menyoal kesehatan dan organsisasi profesi (OP) kesehatan.
“Awalnya kita agak khawatir terkait OP menjadi multibar, ternyata Baleg punya pemahaman yang baik. Jujur ya, waktu draft terbit dari pembahasan Baleg DPR kami bisa mengatakan 70-80 persen draf sudah baik, hanya tinggal sisanya,” kata Mahesa.
Aral melintang, saat dibahas lebih lanjut di Panitia Kerja (panja) DPR, kondisi rancangan benar-benar berubah. Oleh karena itu, penolakan dilakukan berkali-kali pihaknya karena perubahan yang dimaksud.
“Harusnya kalau draf Baleg itu diperbaiki sedikit, kami tidak akan ada reaksi penolakan ya, tinggal kita kawal substansi RUU ini supaya bisa bermanfaat bagi seluruh rakyat,” kata dia.
Sejauh ini, IDI dan empat organisasi profesi kesehatan lain diketahui berencana mengajukan judicial review UU Kesehatan metode Omnibus Law ke Mahkamah Konstitusi. Dalam penjelasan Ketua IDI, Adib Khumaidi, alasan pengajuan tersebut karena peniadaan unsur partisipasi yang bermakna (meaningful participation) sesuai dengan Keputusan MK Nomor 91 Tahun 2020.