Rahasia di Balik Kata Alhamdulillah dalam Alquran, Apa Bedanya dengan Syukur?

Alquran mengabadikan kalimat syukur dengan kata Alhamdulillah dalam Alquran

Republika/ Nashih Nashrullah
Surat Al-Fatihah. Alquran mengabadikan kalimat syukur dengan kata Alhamdulillah dalam Alquran
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Allah SWT menggunakan kata al-hamd dalam surat al-Fatihah ayat satu. Dalam kitab Al-Hidayah ila Bulug al-Nihayah dijelaskan kata al-hamd dalam ayat al-hamd li Allah Rabb al-'alamin (segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam), Allah SWT memenggunakan bentuk masdar dari akar kata hamida berarti memuji. 

Baca Juga


Ini mengisyaratkan bahwa kata al-hamdu mempunyai makna lebih umum dan menyeluruh, yakni segala pujian dari-Ku dan dari keseluruhan makhluk Allah SWT (al-hamdu minni wa min jami' al-kjalq). Al ma'rifah yang berfungsi untuk mengkhususkan sesuatu (li al-jinsiyyah).

Dalam pandangan ulama isyari tahmid lebih dalam daripada syukur (tasykur). Syukur masih dikaitkan dengan perhitungan dan penilaian. Ayat yang sering digunakan untuk meligitimasi pandangan seperti ini ialah: 

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. "Jika kalian mensyukuri nikmat-Ku maka niscaya Aku akan me nambahkan kalian." 

Ayat ini banyak dipahami orang bahwa jika kita mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita, lantas kita syukuri dengan cara mengeluarkan hak-hak orang lain yang dititipkan Allah SWT melalui rezeki itu, maka niscaya Allah SWT akan melipatgandakan harta itu.

Walaupun jika diteliti secara mendalam redaksi yang digunakan ayat itu dhamirnya merujuk kepada sang pemilik nikmat, bukannya nikmat itu sendiri. Lebih tepat ayat itu dipahami: Jika kalian mensyukuri nikmat-Ku, niscaya akan Aku tambahkan (kapasitas) diri kalian. 

Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun

Meski pun secara nominal nikmat itu berkurang, karena kapasitas diri atau dada kita dilapangkan Allah SWT, maka yang sedikit itu terasa banyak dan lebih berkah.

Tahmid sudah melewati perhitungan dan angka-angka yang bersifat fisik. Tahmid sudah identik dengan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. 

Kehadiran nikmat itu sendiri tidak pernah menjadi prioritas dan jarang diminta dalam bentuk al-du'a bi al-lisan. Mungkin karunia yang bersifat material diperoleh dari Allah SWT melalui al-du'a bi al-hal, Allah SWT yang menilai bahwa hamba-Nya sesungguhnya memerlukan karunia dan nikmat itu. 

Di sinilah bedanya antara tahmid orang awam dan tahmid orang khawas. Orang khawas selalu berdoa memohon kenikmatan hidup, sedangkan tahmid orang khawas selalu meminta kedekatan diri dengan Tuhannya.

 

*Naskah dikutip dari dokumentasi Harian Republika, karya Prof KH Nasaruddin Umar. 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler