Saat Asyik Hina Islam, Helena Dengar Lagu Nasyid Judul Ini dan Antarnya Jadi Mualaf

Ada sejumlah lagu nasyid yang didengar Helena Brigitte sebelum jadi mualaf.

SIGID KURNIAWAN/ANTARA
Ada sejumlah lagu nasyid yang didengar Helena Brigitte sebelum jadi mualaf. Foto: Ilustrasi rebana
Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Safia merupakan Muslimah taat yang mana sebelum memeluk Islam, ia kerap menghujat Islam karena sangat membenci agama Nabi Muhammad ini.

Baca Juga


Safia terlahir dengan nama Helena Brigitte, dia mengganti namanya pada tanggal 23 Oktober 2017. Mualaf satu ini masuk Islam tepat tiga pekan setelah ulang tahunnya yang ke 17, yaitu pada tanggal 28 Agustus 2016.

Belum genap dua tahun memeluk Islam, ia belajar banyak mengenai agama ini. Dan sudah sejak 24 Desember 2017 dia telah menikah.

"Alhamdulillah. Jadi inilah cerita saya. Pertemuan dia dengaj Islam semuanya dimulai dengan berita," kata Safia seperti dilansir di About Islam, Jumat (21/7/2023).

Dia menceritakan bahwa pemberitaan kala itu memberitakan tentang kelompok teroris Islam yang mulai muncul setelah serangkaian serangan teror di seluruh dunia. “Ini salah Islam”, begitu kira-kira media membingkai pemberitaan mengenai terorisme.

"Saya berpikir, siapakah Islam itu? Ya, "siapa". Saya benar-benar tidak memiliki pengetahuan tentang agama sama sekali. Orang tua saya tidak melihat pentingnya mengajari kami agama atau membiarkan kami tumbuh dewasa secara religius," kata Safia.

Meskipun demikian, kata Safia, ibunya kerap membacakan Alkitab untuk adik bungsunya yang bernama Deen. Latar belakangnya ini dianggap lucu karena dia memiliki empat saudara laki-laki dan ketiganya memiliki nama depan atau tengah Arab.

Membenci Islam

Safia mulai membenci Islam karena Muslim yang dianggap mengerikan ini membunuh orang tak berdosa di negara-negara Barat tanpa alasan apa pun. Dia pun menyeret sahabatnya saat itu ke dalam hal ini, dan dia dengan cepat membenci Islam juga.

"Kami saling Snapchat, dengan foto diri kami sendiri, menggambar janggut hitam panjang dan alis tunggal, dan menulis hal-hal seperti "Saya dari Irak". Kami bahkan membuat akun Instagram di mana kami berpose dengan niqab/hijab dan mengolok-olok tutup kepala," ujar dia.

Safia memanggil temannya itu Yousef karena namanya mirip dengan itu, dan Yousef memanggilnya dengan sebutan Habiba, yang mirip dengan namanya saat itu. Mereka berdua bertindak sebagai suami-istri, dan bercanda tentang bagaimana Yousef akan melecehkannya jika dia menunjukkan terlalu banyak kulit di depan umum (membuka aurat).

Aksi penistaan agama mereka tak hanya di situ, mereka berdua kerap berteriak “Allahu akbar!” satu sama lain di jalan, untuk didengar semua orang, dan itu bahkan bukan hal yang negatif tetapi bagi mereka berdua itu lucu dan sebagai bahan candaan.

"Saya pikir Anda mendapatkan gambarannya. Baik saya dan dia sangat tidak menghormati Islam dan Muslim, meskipun kami belum pernah melihat atau bertemu dengan baik dengan seorang Muslim," kata dia.

 

Mencari Islam dengan diam

Safia mengaku mulai mencari pengetahuan tentang Islam secara daring ketika dirinya masih melecehkan agama Islam. Kala itu Safia menemukan sebuah lagu nasyid berjudul “Allahu” oleh Labbayk. Dari sanalah ia benar-benar jatuh cinta pada Islam untuk pertama kali.

Kemudian ia mendengarkan nasyid lainnya dan satu lagi, dan satu lagi. Kemudian dia mulai benar-benar tertarik membaca tentang agama Islam dengan seriua.

“Tuhan itu Esa, Muhammad adalah utusan terakhir, sholat lima waktu ke arah Makkah, puasa tampaknya tidak terlalu menarik pada awalnya, tetapi sedikit yang saya tahu, ini adalah awal dari jalan saya menuju Islam," ujar dia.

Akhirnya, setelah membaca begitu banyak tentang agama Islam, Safia merasa bosan untuk melecehkan ahama ini. Bahkan secara diam-diam ia mencari tahu tentang Islam dan perlahan-lahan jatuh cinta pada Islam. Namun ia tidak mungkin bisa mengatakan hal itu kepada siapa pun.

"Bagaimanapun, saya baru berusia 15 tahun. Saya merencanakan pertengkaran (bukan fisik) dengan sahabat saya saat itu, karena dia telah memberi pengaruh buruk pada saya sejak saya bertemu dengannya, jadi saya ingin menyingkirkannya. Rencana saya berhasil dengan sempurna, dan dia marah kepada saya seperti yang saya inginkan. Saya kemudian memblokirnya di mana-mana. Saya pindah ke kota lain, memulai sekolah baru di mana saya tidak mengenal satu orang pun, dan pindah dari rumah," kata Safia.

Safia kemudian bertemu dengan seorang Muslim Pada hari pertamanya di sekolah menengah. Di sana ia melihat namanya di daftar kelas dan berjalan ke ruangan tempat Safia harus berada dan bertemu dengan kelas dan guru. Kala itu dia masuk dan langsung melihat seorang Muslimah berhijab. Muslimah itu sangat imut dan kecil, tapi dia masih sedikit skeptis.

"Kami bertukar Facebook dan nomor segera. Begitulah cara saya mengenalnya. Saya memperhatikan apa yang dia katakan, selalu mendengarkannya dan menatapnya dengan kagum. Saya juga mengunjunginya, bertemu dengannya di waktu senggang dan tidur di rumahnya," kata dia.

Perlahan tapi pasti hatinya mulai terbuka, dan menanyakan pertanyaan tentang Islam. Mengapa Anda memakai jilbab? Kenapa kamu berdoa? Apakah Anda tidak mengucapkan Bismillah sebelum makan? Apakah saya bisa melihat Al Quran?

"Setahun berlalu, dan tahun pertama dan satu-satunya kami di sekolah yang sama telah berakhir. Saat itu musim panas, yang berarti saya akan melakukan perjalanan ke negara asal saya, Belanda. Saya di sana selama dua bulan. Saya telah berhubungan dengan seorang Muslim Maroko yang tinggal di sana selama beberapa bulan, dan pada musim panas kami memutuskan untuk bertemu. Dan kami melakukannya. Kami makan bersama, berjalan-jalan, pergi ke taman, berbelanja, museum, dan sesekali, kami berbicara tentang Islam," ujar dia.

Bersyahadat

Setelah pekan itu di hari Ahad, dia menelepon teman Muslimnya dan mengatakan kepadanya bahwa sangat penting untuk bertemu hari ini. Dia naik bus dari tempat tinggalnya dan menemui Safia di mal.

"Kami berjalan ke sungai terdekat. Itu cantik. Cuacanya bagus, hangat, ada orang berjalan di luar, pegunungan seperti pandangan kami. Itu sempurna. Saya telah menulis sebuah ayat dari Alquran di catatan saya di ponsel saya. Bunyinya “tidak ada paksaan dalam beragama”. Saya sangat gugup tentang apa yang akan saya katakan padanya, sehingga saya bahkan tidak bisa melakukannya sendiri, telepon saya harus melakukannya untuk saya. Jadi saya menunjukkan padanya ayat ini, dan bertanya padanya "apakah kamu tahu apa yang ingin saya katakan?". Dia langsung berkata "tidak", dan saya memintanya untuk berpikir dua kali. Saya pikir butuh dua atau tiga menit sebelum dia berkata, "Apakah Anda ingin menjadi seorang Muslim?". Saya tersenyum lebar, menganggukkan kepala dan berkata "ya"," ujar dia.

Safia kemudian mengangkat kedua tangan untuk menutupi mata saat mulai menangis. Dari sanalah kemudian Safia mantap untuk bersyahadat.

 

I

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler