Bahas Halal Malah Disebut Bigot, Mainmu Kurang Jauh, Bro !
Jangan sebut bigot untuk orang yang berupaya menjalankan ajaran agamanya.
Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kasus konten kreator Jovi Adhiguna makan kerupuk babi di restoran bakso bersertifikat halal dan tudingan bigot terhadap edukator halal Dian Widayanti mendatangkan banyak pelajaran. Dari situ, umat Islam yang belum tahu sedetail itulah agamanya memandu kehidupan jadi punya bahan perenungan dan pengingat.
Sementara itu, Jovi dan non-Muslim lainnya juga jadi tahu apa yang harus dijaga saat makan di restoran bersertifikat halal. Dampak perbuatan semacam itu sangat merugikan bagi pengelola restoran dan konsumen Muslim.
"Untung" saja Jovi membagikan videonya di media sosial. Kesalahan Jovi sekaligus membunyikan alarm waspada bagi pengelola restoran bersertifikat halal.
Ke depannya, mereka harus lebih berhati-hati dan tegas dalam menegakkan aturan yang melarang membawa makanan-minuman dari luar, terutama yang berpotensi mencemari status halal restorannya.
Soal konten wisata halal di Bali yang dibuat Dian, terus terang buat saya pribadi itu cukup membantu. Ketika hendak ke Bali untuk liburan kemarin, konten Dian jadi pengingat. Begitu juga percakapan di kolom komentar, baik dari traveler maupun Muslim yang berdomisili atau perah tinggal di Bali.
Dari melihat postingan Dian, rasa penasaran saya semakin besar untuk mengetahui wisata ramah Muslim di Bali. Keren-keren info yang bertebaran di Instagram maupun Facebook.
Di situ, ada info rental mobil, penyusun agenda wisata, hingga resto/tempat makan halal. Soal rental mobil, misalnya, ada yang menawarkan driver yang mengetahui letak masjid/musholla serta lokasi kulineran ramah Muslim.
Ini penting bagi keluarga kami. Begitu tiba di Bali, saya sodorkan rencana perjalanan tur 12 jam kepada sopir. Kami berembug menentukan destinasi prioritas, lokasi sholat Jumat, serta tempat untuk makan siang dan malam.
Alhamdulillah, berkat susunan rencana perjalanan tadi, suami dan anak saya bisa Jumatan di Masjid Besar Al Hidayah setelah menikmati keindahan Pura Ulun Danu Beratan di Tabanan. Masjidnya bisa dijangkau dengan jalan kaki dari Ulun Danu.
Soal makan, ada beberapa yang direkomendasikannya. Pertama, kami mampir di salah satu restoran buffet.
Menurut pelayan, menu protein hewaninya hanya ikan dan ayam. Tidak ada daging sapi, apalagi babi. Kami dipersilakan melihat-lihat hidangannya terlebih dahulu.
Ada nasi goreng, mi goreng, pasta saus tomat dan bechamel, dan sayur tumis serta sup. Tak selera dengan menunya yang cenderung Western, kami pamit kepada pelayan yang tetap tersenyum ramah.
Berikutnya, pak sopir menawarkan restoran nasi ayam tempong. Ternyata, yang ini lebih menggugah selera kami siang itu.
Kalau ditelisik lebih detail, rekomendasi pak sopir belum tentu jaminan halal. Soalnya kedua tempat makan itu belum bersertifikat halal.
Dengan menunya yang bervariasi, titik kritis kehalalan makanan restoran buffet jauh lebih banyak daripada restoran ayam tempong. Satu porsi ayam tempong berisi nasi, ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin, sambal, dan lalapan.
Ayam memang halal untuk dimakan, tetapi jika penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam maka sama saja seperti makan bangkai. Lalu, minyak gorengnya juga belum tentu halal.
Lanjut makan malam di keesokan harinya, teman saya merekomendasikan kulineran seafood di tepi pantai Jimbaran. Seafood memang halal, tapi bumbu masaknya, kuas untuk mengoleskan bumbu bakarannya, atau minyak gorengnya belum tentu halal. Kalau restorannya juga menjual makanan nonhalal, konsumen Muslim tak perlu sungkan menanyakan detail apakah dalam proses penyiapan masakan halal dipisah atau tidak.
Soal makan di restoran yang menyediakan khamr dan babi, saya teringat pengalaman di Toulouse, Prancis sekitar 14 tahun silam. Hari sudah malam dan rombongan kami kangen makan nasi.
Berdelapan, empat di antara kami non-Muslim. Begitu melihat restoran Cina, semua sepakat untuk mampir.
Pengelola restoran menyambut kami dengan hangat. Secara khusus, dia menyapa saya yang satu-satunya berjilbab. Ibu itu menjelaskan menu yang nonhalal dimasak dengan wajan yang berbeda. Proses penyiapannya juga dipisah wadahnya.
Dia menjelaskan beberapa tamunya juga ada yang Muslim sehingga dia paham kebutuhannya. Ah, senang sekali mendengarnya.
Empat teman yang non-Muslim dengan antusias memesan pork, sementara saya pilih ikan. Saya tak terpikir menanyakan bagaimana dia mensucikan peralatan makannya atau detail lain tentang titik kritis lainnya.
Terkadang, sebagian Muslim juga dengan mudah berkompromi untuk hal-hal yang sebetulnya masih ada opsi lain untuk mempertahankan tuntunan soal makanan halal. Makan di restoran yang menjual bir, misalnya, seharusnya bisa dihindari jika itu bukan di daerah minoritas Muslim.
Ribet ya? Eits, jangan sebut bigot untuk orang yang berupaya menjalankan ajaran agamanya. Justru sikap toleran non-Muslim di wilayah minoritas Muslim perlu ditunjukkan.
Mengampanyekan kesadaran untuk tetap berpegang pada syariat Islam ketika berwisata ke Bali bukanlah upaya islamisasi, bukan juga hendak mengubah citra Bali. Sejatinya, ini justru penting untuk memfasilitasi turis Muslim agar kebutuhan dasarnya terpenuhi, yakni untuk beribadah dan mendapatkan makanan-minuman halal.
Sebagai Muslim, kita juga perlu terus belajar dan menjadikan tuntunan agama sebagai gaya hidup, cara hidup. Masih curiga itu bigot?
Main agak jauh yuk. Halal tourism sudah marak di luar negeri. Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan termasuk negara Asia yang progresif dan serius menggarap wisata halal. Paket-paket wisata halal ke benua lain juga banyak ditawarkan.
Tak perlulah ada komentar, "nggak usah ke sana kalau ribet". FYI, Islam menganjurkan umatnya untuk travelling karena banyak manfaat yang bisa dipetik dengan bepergian, tak terkecuali ke daerah minoritas Muslim.