Perempuan Palestina Selamatkan Industri Perikanan di Gaza

Para nelayan Palestina dikejar oleh kapal perang Israel hampir setiap hari

EPA/Ali Ali
Nelayan Palestina melaut mencari ikan (ilustrasi)
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Alih-alih menunggu suami yang seorang nelayan menyelesaikan harinya di lepas pantai Gaza, Mona Hneideq kini bekerja bersamanya. Ketika si suami menangkap ikan, dia membuat dan mengkreasikan hidangan lezat dari hasil tangkapan.

Hneideq bersama dengan 19 perempuan lain telah membuka Dapur Makanan Laut Istri Nelayan di dekat pelabuhan Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah. Para perempuan itu mendukung suami yang pekerjaannya di industri perikanan menghadapi pembatasan yang semakin ketat dari Israel.

“Mereka pergi memancing di pagi hari, dan begitu mereka kembali, kami mengambil hasil tangkapan dan membuat hidangan berbeda berdasarkan pesanan pelanggan,” kata perempuan berusia 36 tahun itu dikutip dari Middle East Eye.

Hneideq menceritakan, para perempuan menyiapkan makanan, membungkusnya, kemudian mengirimkannya ke berbagai distrik di Jalur Gaza. "Kami melengkapi suami kami dan membantu mereka mengatasi tantangan," ujarnya.

Hneideq memutuskan untuk mendukung suaminya setelah 14 tahun menikah. Dia menyaksikan pasangannya itu berkali-kali hampir menyerah memancing.

"Dia merasa putus asa dan putus asa dalam banyak kesempatan, dan dia hampir menyerah pada profesinya. Dia dan rekan-rekan nelayannya dikejar oleh kapal perang Israel hampir setiap hari," ujar Hneideq.

Menurut pengakuan Hneideq, pasukan pendudukan melepaskan tembakan ke arah para nelayan Gaza. Kemudian pasukan pun mengancam akan menahan dengan menyita perahu dan membatasi zona penangkapan ikan secara teratur.

“Hal ini membuat penangkapan ikan terkadang tidak sepadan dengan usaha. Ada banyak hari ketika dia akan kembali ke rumah setelah seharian memancing tanpa menghasilkan apa-apa. Tapi ada juga hari-hari ketika dia menebusnya," ujar Hneideq.

Sebelum para perempuan Gaza memulai proyek pengolahan tangkapan,  suami mereka mengira proyek itu akan gagal. “Semua suami kami ragu, mereka memberi tahu kami bahwa itu akan gagal, terutama karena kami memulai proyek serupa pada 2021 dan kami menyerah beberapa pekan kemudian karena kami tidak menerima cukup pesanan,” kata Hneideq.

Kali ini mereka bekerja dengan baik...

Baca Juga


Tapi, Hneideq menegaskan, kali ini mereka bekerja dengan baik dalam pemasaran dan menyelenggarakan upacara pembukaan dengan prasmanan terbuka untuk menarik pelanggan. Berkat usaha itu, mereka mendapatkan banyak pesanan dan para suami pun mendukung ide tersebut.

Meskipun mayoritas dari 20 perempuan yang bekerja di dapur adalah istri nelayan, ada juga anak perempuan yang ingin membantu ayahnya yang melaut. Tumbuh dalam keluarga yang mengakar dalam industri perikanan, Hanan al-Aqraa belajar membuat resep makanan laut sejak usia sangat muda.

“Saya ingat ketika saya masih kecil, saya sering datang ke pelabuhan tempat ayah saya bekerja. Saya membawakannya makanan dan teh dan mengawasinya memancing selama berjam-jam,” kata Aqraa.

Aqraa menceritakan, kakeknya adalah seorang nelayan dan itu terus diturunkan kepada ayah, paman, dan saudara laki-lakinya. Dia pun mengaku sangat paham dengan resep ikan dan telah memutuskan untuk melanjutkan tradisi yang sama dan mencari peluang kerja baru melalui proyek pengolahan hasil tangkapan laut.

Perempuan berusia 29 tahun ini memiliki gelar dalam sastra Inggris. Sejak kelulusannya, Aqraa hanya melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan gelar ini selama beberapa bulan.

“Saya pernah bekerja sebagai pelatih bahasa Inggris, tetapi saya berhenti beberapa bulan kemudian karena gajinya sangat buruk dan jam kerjanya sangat panjang,” kata Aqraa.

Aqraa pun masih mencari peluang kerja lain, walau saat ini hampir setiap hari dia bekerja di dapur. "Kami memiliki jadwal mengatur jam kerja untuk para wanita, dan masing-masing dari kami bekerja sesuai dengan jadwal dan tugas yang diberikan," ujarnya

Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) melaporkan, tingkat pengangguran di Jalur Gaza yang diblokade mencapai 45 persen pada akhir 2022, dibandingkan dengan 13 persen di Tepi Barat. Lulusan pemuda berusia 19-29 tahun yang memegang diploma menengah atau lebih tinggi, tingkat pengangguran di Gaza telah mencapai 74 persen, dibandingkan dengan 29 persen di Tepi Barat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler