Kampanye LGBT Lewat Musik, Anang: Musisi tak Boleh Mengatasnamakan Kebebasan Berekspresi

Musisi disebut tak boleh berperilaku seenaknya mengatasamakan kebebasan berekspresi.

EPA/MARIO RUIZ
Band 1975. Band ini membuat publik geram sejak akhir pekan lalu karena aksi ciuman gay di Malaysia. Angka 1975 di nama band tersebut berasal dari sebuah novel populer tahun 1957.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paparan gerakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) lewat musik sudah jamak terjadi, baik secara halus maupun terang-terangan. Salah satu yang sangat gamblang adalah aksi ciuman gay yang dilakoni personel band Inggris 1975 saat manggung di Malaysia beberapa waktu lalu.

Musisi sekaligus politisi Indonesia, Anang Hermansyah, menyampaikan pendapatnya terkait fenomena tersebut. Menurut Anang, musisi tidak boleh seenaknya berperilaku sembarangan dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.

"Menurut dia mungkin tidak apa-apa, tapi apakah budaya di negara tersebut sama? Setiap negara punya budaya berbeda. Setiap masyarakat punya aturan. Dia seharusnya bisa melihat, sedang melakukan performance di mana, harus bagaimana dalam berbicara," ujar Anang saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (26/7/2023).

Bicara mengenai aturan di Indonesia, pelantun lagu "Separuh Jiwaku Pergi" itu mengutip pasal 28J dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangkaian pasal itu, disebutkan bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Aturan tersebut dinilai Anang semestinya bisa dijadikan landasan bagi musisi yang nantinya bakal manggung di Indonesia. Dengan begitu, mereka tidak bisa serta-merta merasa bebas menyebarkan gerakan atau budaya tertentu.

Tinggal, bagaimana baiknya membuat pengejawantahan dan turunan dari UU tersebut sehingga secara konkret bisa diterapkan berbagai stakeholder. Tentunya, perlu melibatkan berbagai komponen, termasuk promotor, musisi, masyarakat, dan pemerintah.

Menurut Anang, ada baiknya pemerintah melakoni upaya preventif supaya tidak kecolongan dan menimbulkan keresahan di kemudian hari. Berkaca dari apa yang terjadi di Malaysia, mengatasi masalah setelah "kejadian" cukup terlambat dan telanjur memicu kegaduhan.

Anang mencontohkan band yang diterpa isu serupa dan akan manggung di Indonesia beberapa bulan mendatang, yakni Coldplay. Jelang penampilannya, berbagai perdebatan sudah terjadi, padahal band belum hadir ke Indonesia.

Dengan tidak adanya aturan jelas, belum bisa menjamin bahwa nantinya Coldplay tidak membawa atribut terkait LGBT saat manggung di Indonesia. Pasalnya, pada konser di negara lain, band itu sempat mengibarkan bendera pelangi, meski para personelnya memang tidak pernah secara gamblang menyatakan diri sebagai pendukung gerakan LGBT.

Baca Juga


Tidak bisa tidak, Anang menyoroti perlunya perumusan aturan terkait bagaimana jika musisi mancanegara tampil di Indonesia. Toh, jika musisi Indonesia tampil di negara lain pun, Anang yakin ada seperangkat aturan juga yang harus mereka patuhi di negara yang dituju.

Pria 54 tahun kelahiran Jember itu menyadari bahwa dalam pertunjukan apa pun, baik musik atau kesenian lintas negara, tentunya terjadi pertukaran budaya. Dengan jumlah penduduk lebih dari 273 juta jiwa, Indonesia adalah pasar yang sangat besar dan banyak pihak berkeinginan untuk masuk.

Tidak ada salahnya bagi Indonesia untuk membuka diri, tapi siapa pun yang "masuk", menurut Anang harus memahami pakem yang ada, bahwa Indonesia memiliki budaya lokal yang harus dihormati. Memahami bahwa Indonesia adalah negara Pancasila dan ada nilai ketuhanan yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat.

"Memang harus jadi pemikiran semua stakeholder untuk merumuskan, supaya Indonesia punya aturan tegas dan semua pihak menerima 'kalau kalian ke Indonesia, harus begini ya guys'. Enggak boleh seenak-enaknya. Karena saya yakin negara lain juga punya proteksi budaya," tutur Anang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler