PBB: Sumbangan Rusia untuk Afrika tak Atasi Krisis Pangan Global
Keputusan Rusia menarik jutaan ton gandum akan akibatkan kenaikan harga.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengungkapkan sumbangan yang dijanjikan Presiden Rusia Vladimir Putin kepada beberapa negara Afrika tidak sama dengan kesepakatan pangan Laut Hitam yang membantu mengatasi krisis pangan global. Dia memperingatkan bahwa menarik jutaan ton gandum dan biji-bijian lain dari pasar akan mengakibatkan kenaikan harga.
"Kenaikan harga akan menjadi beban semua orang di mana saja dan terutama negara-negara berkembang serta orang-orang yang rentan di negara berpenghasilan menengah, bahkan maju," kata Guterres pada Kamis (27/7/2023) waktu setempat.
"Jadi bukan sejumlah bantuan ke beberapa negara," kata dia. "Kami ingin koreksi dampak dramatis ini yang mempengaruhi semua orang, di mana saja."
Sebelumnya, Presiden Putin mengumumkan rencana Rusia memasok pangan ke enam negara Afrika. Putin menjanjikan 25.000-50.000 ton biji-bijian secara gratis ke Burkina Faso, Zimbabwe, Mali, Somalia, Republik Afrika Tengah, dan Eritrea dalam tiga hingga empat bulan ke depan.
Langkah ini ditempuh setelah Rusia menarik diri dari kesepakatan pangan Laut Hitam. Kesepakatan ini menciptakan koridor jalur pelayaran yang aman untuk mengekspor pangan Ukraina dari tiga pelabuhannya di Laut Hitam, ke pasar dunia.
Sejak disepakati pada April 2021, kesepakatan itu membantu mengendalikan harga yang melonjak dan meredakan krisis pangan global dengan memulihkan pasokan gandum, minyak bunga matahari, pupuk, dan produk lainnya dari Ukraina yang merupakan salah satu pengekspor pangan jenis ini di dunia.
Rusia tak mau memperpanjang perjanjian itu setelah 17 Juli 2023, dengan mengatakan bagian-bagian yang terkait dengan tuntutannya dalam kesepakatan itu sejauh ini belum diwujudkan. Tuntutan Rusia itu antara lain, penghapusan hambatan ekspor pupuk Rusia dan memasukkan Bank Pertanian Rusia di dalam sistem pembayaran internasional SWIFT.