Cucu Pendiri Gontor: Indonesia Benteng Terakhir Peradaban Islam

Peradaban Islam tak seterang dulu. Umat Islam menghadapi penindasan dan pecah belah.

Dokpri
Ketua Forum Kabah Memanggil Husnan Bey Fananie
Rep: Muhyiddin Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Cucu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor yang kini menjadi Ketua Umum PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Prof Husnan Bey Fananie menyampaikan pandangan strategisnya mengenai posisi Indonesia dalam peta besar sejarah Islam global. 

Baca Juga


Menurut dia, Indonesia hari ini merupakan benteng terakhir peradaban Islam yang masih bertahan dan memiliki potensi untuk memimpin kebangkitan umat secara global.

Pandangan tersebut telah ia renungkan sejak era reformasi, sepulangnya dari studi di Belanda pada tahun 1997-1998. Sebagai akademisi berlatar belakang antropologi dan sejarah, Husnan menilai bahwa peradaban Islam telah mengalami siklus kejayaan dan kejatuhan sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ia mengurai runtutan sejarah kejayaan Islam mulai dari Khilafah Bani Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga ke kekuatan Mongol di Asia dan Turki Utsmani yang menjadi simbol kejayaan Islam hingga awal abad ke-20.

Menurut dia, runtuhnya Kekhalifahan Ottoman pada 1924 menjadi titik balik ketika umat Islam terjajah secara politik, ekonomi, dan budaya oleh kekuatan imperial Barat.

“Peradaban Islam hari ini tidak seterang dulu. Umat Islam mengalami fitnah, penindasan, dan pecah-belah. Di Timur Tengah sendiri, negara-negara Arab tidak bersatu meski berbahasa, beragama, dan berkitab sama,” ujar Husnan saat berbincang dengan Republika dalam acara Halalbihalal Gerakan Pemuda Parmusi di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Dalam kondisi dunia Islam yang tercerai-berai itu, Husnan melihat Indonesia sebagai satu-satunya harapan. Ia menyebut negeri ini sebagai “The Green Belt of Southeast Asia” atau Sabuk Hijau Asia Tenggara—sebuah wilayah yang tetap kokoh memegang nilai-nilai Islam meski telah melewati penjajahan, tekanan komunisme, hingga penetrasi ideologi Barat seperti sekularisme dan liberalisme.

“Indonesia ini luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, ribuan pulau, ratusan bahasa, tapi kita bisa bersatu karena satu akidah dan ideologi. Ini kekuatan yang tidak dimiliki oleh dunia Islam lainnya saat ini,” kata Husnan.

Mantan Dubes untuk Azerbaijan ini menyebut sejarah kesatuan ini bukan datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan panjang kerajaan-kerajaan Islam Nusantara seperti Kesultanan Demak, Banten, Mataram, Banjar, Ternate, Tidore, hingga Kesultanan di Raja Ampat. Kesatuan ideologi ini kemudian dirumuskan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hingga kini masih bertahan.

 

Lebih lanjut, Husnan menekankan pentingnya peran pemuda dalam mempertahankan warisan peradaban tersebut. Dia menyerukan agar para pemuda Indonesia, terutama Gerakan Pemuda Parmusi, menyadari tanggung jawab besar mereka untuk menjaga dan membangun kembali kejayaan Islam melalui penguasaan ilmu, teknologi, dan solidaritas sosial.

“Peradaban itu tidak akan bangkit kalau kita terpecah. Harus ada kesatuan visi, kesamaan arah, dan keteguhan dalam menjaga nilai-nilai,” jelas dia.

Dia menjelaskan, keberadaan madrasah, pesantren, universitas Islam, serta masjid-masjid di seluruh pelosok negeri merupakan bukti nyata bahwa Indonesia masih menjaga akar-akar peradaban Islam. Maka tugas generasi muda adalah melanjutkan dan mengembangkan warisan tersebut agar tidak lenyap di tengah arus zaman.

“Anak-anak kita adalah anak-anak masa depan. Mereka harus punya karakter, kekuatan ilmu, dan semangat membangun peradaban. Indonesia adalah harapan terakhir dunia Islam,” kata Prof Husnan.

 

 
Infografis tiga teori Islamisasi Nusantara. - (republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler