Penetapan Tersangka Kabasarnas Lampaui Kewenangan KPK? Begini Penjelasan LBH Pelita Umat
KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka Kepala Basarnas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menanggapi isu kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI aktif.
KPK baru saja menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.
Padahal berdasarkan Pasal 42 UU KPK dijelaskan sebagai berikut: "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Hal ini didukung Pasal 89 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : "apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
"Pasal 89 ayat (1) mengamanatkan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada peradilan militer," kata Chandra dalam keterangannya pada Ahad (30/7/2023).
Chandra mengajak semua pihak menelaah kewenangan KPK dalam mengusut perkara dugaan korupsi yang menjerat unsur TNI aktif. "Bahwa apakah KPK salah, telah sesuai hukum dan tidak melebihi kewenangannya? Mari kita pahami kewenangan KPK, kewenangan Pengadilan Militer dan kewenangan Pengadilan Tipikor," ujar Chandra.
Chandra mengingatkan Undang-Undang Pengadilan Militer menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Hal ini dikecualikan jika menurut keputusan Menteri Pertahanan (Menhan) dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
"Oleh karena itu selama belum ada keputusan bersama Menhan dengan persetujuan Menkumham maka KPK masih dapat memungkinkan berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer," ujar Chandra.
Chandra juga menjelaskan perkara koneksitas diukur dari segi “titik berat kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu. Perkara koneksitas merupakan kasus yang melibatkan TNI aktif dan warga sipil secara bersamaan.
Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut lebih banyak merugikan kepentingan umum maka perkara itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
"Apabila titik berat kerugian ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak
pada lebih banyak kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan militer," ucap Chandra.
Kemudian, apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana titik beratnya merugikan “kepentingan militer” maka pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer. Ini dapat dilakukan walau pelaku tindak pidananya lebih banyak dari kalangan sipil.
"Selama kerugian yang ditimbulkan tidak merugikan kepentingan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari militer, berlakulah prinsip perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum," ucap Chandra.
Sebelumnya, KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).
KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan barang di Basarnas pada Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut.
Kemudian, dalam konferensi pers pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.