Permintaan Reparasi Kipas Angin di Gaza Naik karena Gelombang Panas
Suhu telah meningkat di atas 38 derajat Celcius di Gaza dan sering terjadi pemadaman
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang tukang reparasi peralatan listrik, Mustafa Abdou kebanjiran rezeki di tengah gelombang panas yang melanda Gaza. Suhu yang melonjak di Timur Tengah menyebabkan ketidaknyamanan bagi banyak orang, sehingga permintaan kipas angin listrik meningkat.
"Saya telah menjalankan bisnis ini selama 40 tahun, tidak pernah sepanas ini," kata Abdou (70 tahun), yang duduk di tengah tumpukan kipas rusak dan peralatan listrik lainnya di dalam toko kecilnya di kamp pengungsi Gaza.
Suhu telah meningkat di atas 38 derajat Celcius di Gaza dan sering terjadi pemadaman listrik. Hal ini mendorong semakin banyak orang menyesuaikan kipas angin mereka dengan menggunakan baterai, agar mereka dapat menyejukkan diri ketika listrik padam.
"Saya biasa memperbaiki beberapa kipas tetapi karena gelombang panas melonjak, permintaan kipas meningkat dan saya memperbaiki lebih banyak, saya melakukan lebih banyak perbaikan karena gelombang panas belum pernah terjadi sebelumnya," kata Abdou.
Sebagian besar pelanggan Abdou adalah penduduk yang tinggal di kamp Palestina di Gaza. Tetapi ada juga beberapa pelanggan dari wilayah lain. Kendati telah memperbaiki kipas angin pelanggan, kipas angin milik Abdou tidak dapat berfungsi karena pemadaman listrik.
Menurut pejabat setempat, Gaza membutuhkan sekitar 500 megawatt listrik per hari di musim panas. Gaza menerima 120 megawatt dari Israel sementara satu-satunya pembangkit listrik di kantong itu memasok tambahan aliran listrik sebe 60 megawatt.
Selama lebih dari satu dekade, pasokan listrik Gaza yang terbatas telah menyebabkan kekurangan kronis, sehingga penduduk terpaksa hidup tanpa listrik selama 10 hingga 17 jam setiap hari. Saat suhu naik dan lebih banyak AC dinyalakan, catu daya lambat dan durasi pemadaman meningkat.
Kekurangan daya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, menghambat layanan penting seperti layanan kesehatan, air dan sanitasi, manufaktur, dan pertanian. Sebuah studi menemukan bahwa 92 persen warga Gaza merasa kekurangan makanan berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Sementara 82 persen lainnya tidak dapat menyimpan makanan dalam lemari pendingin.
Krisis telah memicu gelombang protes media sosial yang tidak biasa. Penduduk Gaza meminta generator lokal untuk menghasilkan lebih banyak tenaga dengan mengoperasikan pembangkit listrik dengan kapasitas penuh.
Warga juga membagikan video tentang kegelapan di malam hari dan anak-anak mereka tidur di lantai untuk menyejukkan diri. Beberapa menyerukan protes dan menuntut tindakan dari Hamas, kelompok perlawanan yang menguasai Jalur Gaza sejak 2007.
Namun Hamas mengatakan, ekonomi Gaza telah dirusak oleh blokade Israel selama 16 tahun. Blokade ini juga merusak jaringan listriknya. Ketua Otoritas Energi Gaza yang ditunjuk Hamas, Jalal Ismail, menyebut kekurangan itu sebagai masalah politik, akibat perpecahan dengan Otoritas Palestina.
Di sisi lain, Otoritas Palestina, yang membayar pasokan listrik dari Israel menyalahkan krisis listrik di Gaza pada Hamas. Otoritas Palestina mengatakan, Hamas bertanggung jawab mengumpulkan pendapatan listrik.
Beberapa penduduk dan bisnis memiliki daya tambahan dari panel surya dan generator. Namun mereka yang tidak mampu membeli generator atau panel surya harus menggunakan lampu LED bertenaga baterai, dan mencari cara alternatif untuk menghindari panas.
“Saya tidak punya uang untuk membeli kipas angin dan jika saya melakukannya mereka akan memutus aliran listrik dan saya kepanasan, oleh karena itu saya menggunakan baki plastik itu,” kata seorang penduduk Gaza, Um Khattab Dula (90 tahun).