Praktisi Hukum: KPK Punya Kewenangan Tetapkan Anggota TNI Sebagai Tersangka

Sikap KPK yang meminta maaf atas kekhilafan dinilai tak perlu dilakukan.

Dok Basarnas
Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi menjadi tersangka kasus suap OTT KPK.
Rep: Bambang Noroyono Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kalangan praktisi hukum menyesalkan sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap di Basarnas. Praktisi hukum Boris Tampubolon menilai KPK semestinya tak perlu meminta maaf atas rasa bersalah kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menetapkan Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka.

Baca Juga


Menurut Boris Tampubolon, tindakan KPK sudah benar dalam peningkatan status hukum dua personel aktif militer tersebut. “Sebenarnya KPK tidak perlu meminta maaf, apalagi menyatakan kalau terjadi kekhilafan. Apa yang KPK lakukan dengan melakukan penyidikan terhadap dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI sudah benar,” kata Boris dalam pernyataan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (31/7/2023).

Polemik yang muncul setelah KPK mengumumkan Henri Alifiandi dan Afri Budi sebagai tersangka adalah masalah TNI yang merasa memiliki kewenangan tersendiri terhadap personelnya yang ditangkap terkait korupsi. Padahal, menurut Boris, apa yang sudah dilakukan KPK sudah benar.

Boris menjelaskan, dalam pengusutan korupsi KPK mengacu pada kewenangannya dalam Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK. KPK memiliki kewenangan mengoordinasikan, dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

“Artinya, memang ada kewenangan khusus yang diberikan undang-undang kepada KPK selaku penyidik tindak pidana korupsi, baik terhadap orang yang tunduk pada peradilan militer maupun peradilan umum,” kata Boris.

Boris melanjutkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dalam UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, pun mengatur ketentuan yang sama. Dia menyebut, jika ada tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, proses hukum beracaranya harus masuk dalam pengadilan umum.

Kecuali, kata Boris, ada keputusan khusus dari menteri kehakiman agar proses hukum acaranya dilakukan dalam lingkungan peradilan militer. Akan tetapi, kata Boris, keputusan menteri kehakiman tersebut, pun dengan dasar fakta hukum perkaranya.

“Pertimbangan apakah dugaan korupsi oleh anggota TNI ini diadili di peradilan umum atau di pengadilan militer, menurut KUHAP dan UU Peradilan adalah melihat titik berat kerugian negara dari perkara ini. Apakah terletak pada kepentingan umum atau terletak pada kepentingan militer,” ujar Boris.

Jika titik berat perkara korupsinya menyangkut kepentingan umum, tentu saja kewenangan mengadilinya di pengadilan umum. Sebaliknya, kata Boris, jika letak kerugian negara dari korupsinya terkait dengan kepentingan militer, diadili di peradilan militer.

Namun begitu, pijakan hukumnya, tetap mengacu pada mendahulukan kewenangan peradilan umum. Sebab itu, kata Boris, sikap KPK yang meminta maaf atas kekhilafan menetapkan personel aktif TNI sebagai tersangka korupsi dari operasi tangkap tangan tak perlu dilakukan.

Karena, menurutnya, KPK sudah berada pada jalur hukum yang benar dalam melakukan tindakan hukum terkait korupsi pengadaan barang di Basarnas yang melibatkan dua personel aktif TNI tersebut. “KPK cukup menyampaikan bahwa perlu berkoordinasi dengan TNI, sebab ada orang-orang yang merupakan anggota TNI, untuk menentukan apakah kedua orang anggota TNI tersebut akan diadili di pengadilan umum atau di pengadilan militer,” kata Boris.

KPK melakukan OTT terkait suap pengadaan barang di Basarnas, Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto tertangkap dalam operasi. Pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi sebagai tersangka.

Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum oleh KPK tersebut menyalahi aturan. Marsda Agung menegaskan militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan status tersangka bagi para prajurit TNI yang melanggar hukum.

Pada Jumat (28/7/2023) usai menerima kunjungan dari Puspom TNI di KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan maaf, dan kekhilafan lembaganya dalam menetapkan Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi sebagai tersangka. “Kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman dari TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan,” kata Tanak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler