KPK akan Aktifkan Panic Button Antisipasi Teror Terhadap Pegawai

KPK pun berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat. 

ANTARA/M Risyal Hidayat
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memberikan keterangan pers.
Rep: Flori Sidebang Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan kembali mengaktifkan penggunaan tombol panik atau panic button untuk mencegah teror terhadap para pegawainya. Hal ini dilakukan setelah muncul polemik terkait operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Badan SAR Nasional (Basarnas).


“Antisipasi teror, nah, kami akan kembali mengaktifkan, KPK akan mengaktifkan semacam SMS atau panic button,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata kepada wartawan, Senin (31/7/2023) malam.

Alex mengatakan, jika ada pegawai yang menerima ancaman maupun teror, bisa segera melapor melalui panic button tersebut “Dia tinggal memencet atau SMS,” ujar dia.

Alex menjelaskan, KPK pun berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Sehingga, dapat merespons aduan itu dengan cepat.

“Dan untuk itu, kami juga koordinasi dengan polsek setempat untuk segera ya menindaklanjuti dari laporan pegawai yang mengalami gangguan atau apa di manapun, di rumah, di jalan atau di manapun,” jelas Alex.

Di sisi lain, saat ditanya mengenai ada tidaknya intimidasi dari pihak lain terhadap KPK dalam kasus suap di Basarnas, Alex enggan berkomentar lebih banyak. “Ya itu tidak saya sampaikan di sini. Hanya menjadi catatan saja,” tutur dia.

Untuk diketahui, ancaman hingga teror terjadi setelah adanya kisruh penetapan tersangka Kepala Basarnas (Kabasarnas) periode 2021-2023 Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi (HA) dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Letkol Adm Afri Budi Cahyanto oleh KPK beberapa waktu lalu. Keduanya bersama tiga pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas.

Adapun tiga tersangka lainnya sebagai pemberi suap, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA).

Dalam kasus ini, Henri diduga mendapat fee 10 persen dari berbagai proyek di Basarnas sejak 2021-2023. Dia mengantongi uang suap hingga mencapai Rp 88,3 miliar.

Henri menentukan langsung besaran fee tersebut. Uang yang diserahkan disebut sebagai dana komando atau dako.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler