Kecerdasan Buatan (AI) dalam Era Modern: Tantangan dan Potensi Ancaman pada Kehidupan Manusia

AI: Ancaman atau Tantangan dalam Era Modern Teknologi? Temukan bagaimana kecerdasan buatan berdampak positif di berbagai sektor, tetapi juga membawa risiko jika tidak digunakan bijaksana.

retizen /Mahéng
.
Rep: Mahéng Red: Retizen

Pernahkah kamu menyadari bahwa setiap hari, dari bangun tidur hingga kembali beristirahat, kita selalu berinteraksi dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI)?


Teknologi AI telah menyelipkan diri dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari kita dengan begitu kompleks. AI telah menemukan jalannya ke dalam berbagai aspek kehidupan modern, membentuk peradaban dan cara kita hidup dan berkembang biak.

Mengapa begitu gelisahnya ketika kita hendak berangkat namun gawai kita tertinggal? Atau seberapa menyebalkannya ketika listrik dan internet mati, walau hanya satu jam saja?

Salah satu jawabannya adalah karena kita sudah terbiasa dengan adanya kecanggihan deep learning, seperti yang terlihat pada speech recognition. Kita dapat memberi perintah kepada Google Assistant, Siri, Cortana, dan Alexa untuk melakukan apa yang kita inginkan.

Sejarah Singkat dan Cikal Bakal AI

AI sudah dikenal sejak lama, dimulai dari Peradaban Yunani Kuno. Meskipun saat itu belum ada istilah resmi, namun cikal bakalnya sudah ada. Misalnya, Hephaestus (Vulcan) adalah seorang pandai besi yang terkenal dengan banyak karya.

Dalam cerita-cerita Yunani, Hephaestus memiliki kemampuan untuk menciptakan berbagai karya seni dan alat dengan kecanggihan yang luar biasa pada masa itu.

Selain itu, terdapat juga legenda tentang makhluk bernama Talos, yang merupakan salah satu contoh awal dalam mitologi Yunani yang menyinggung tentang gagasan robot cerdas. Talos adalah patung besar dari perunggu yang dihidupkan oleh para dewa untuk menjaga pulau Kreta.

Dia memiliki kemampuan untuk bergerak dan berjalan secara mandiri, serta melindungi wilayahnya dari potensi ancaman.

Meskipun konsep Hephaestus dan Talos dalam mitologi Yunani lebih bersifat mitos dan legenda, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia sejak zaman kuno telah mengeksplorasi ide tentang kecerdasan buatan dan makhluk buatan yang mampu melakukan tugas-tugas tertentu.

Pada tahun 1206, Badiuzzaman Abu al-‘Iz bin Ismail bin ar-Razaz al-Jazari mengembangkan robot humanoid pertama yang bisa diprogram dan bekerja secara mekanis. Al-Jazari sendiri membaca banyak buku tentang matematika dan fisika, termasuk risalah-risalah karya para ilmuwan Yunani Kuno.

Dari berbagai bahan bacaan itu, ia jatuh hati pada kajian tentang automata. Dalam bahasa Yunani, kata itu berasal dari "automatos" yang artinya ‘berlaku atas kehendak sendiri’ atau 'bergerak sendiri'.

Al-Jazari juga menciptakan robot gajah penunjuk waktu. Benda ini kemudian dikenal sebagai "jam gajah" (the elephant clock).

AI lantas berkembang cukup signifikan pada pertengahan abad 20. Pada tahun 1956, misalnya, ilmuwan bidang komputer, John McCarthy, menciptakan suatu bahasa pemrograman tingkat tinggi yang disebut LISt Processing (LISP).

Pada masa inilah istilah "artificial intelligence" pertama kali diperkenalkan oleh John McCarthy, Marvin Lee Minsky, Herbert Alexander Simon, Allen Newell, dan Edward Albert Feigenbaum pada pertemuan di Dartmouth.

McCarthy sendiri mendefinisikan artificial intelligence sebagai aktivitas yang dilakukan manusia untuk membuat sebuah teknologi agar memiliki fungsi dan perilaku seperti halnya manusia.

Definisi ini telah menjadi dasar bagi pengembangan dan pemahaman tentang kecerdasan buatan dalam dunia ilmu komputer.

Perkembangan Terkini Kecerdasan Buatan

Perkembangan kecerdasan buatan telah mengalami kemajuan pesat berkat tiga faktor kunci: Big Data, Internet of Things (IoT), dan daya komputasi yang semakin kuat.

Big Data menyediakan sumber data besar dan kompleks, termasuk data berupa gambar (visual) dan data non-gambar (teks bahasa atau angka), yang menjadi bahan bakar bagi algoritma AI untuk belajar dan mengambil keputusan yang cerdas.

Sementara itu, IoT telah membuka pintu bagi konektivitas yang luas antara perangkat fisik, memungkinkan data yang berlimpah dari berbagai sensor untuk diakses dan digunakan oleh sistem AI. Selain itu, daya komputasi yang semakin kuat memungkinkan pemrosesan data yang lebih cepat dan kompleks, memungkinkan AI untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap mustahil.

Kombinasi dari ketiga elemen ini, yaitu Big Data, Internet of Things (IoT), dan daya komputasi yang semakin kuat, telah mendorong kemajuan luar biasa dalam dunia kecerdasan buatan dan membuka peluang baru untuk penerapan AI dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang religi.

Contoh yang menarik dari penerapan teknologi kecerdasan buatan dalam bidang religi adalah ketika Gereja Protestan di Bavaria, Jerman, mengadakan ibadah yang dipimpin oleh teknologi ChatGPT.

Dalam peristiwa tersebut, hampir 98% prosesi ibadah didukung oleh teknologi kecerdasan buatan. Sebuah avatar digunakan untuk memimpin lebih dari 300 orang melalui doa, musik, khotbah, dan bahkan pemberkatan selama 40 menit.

Dengan teknologi ini, pendeta digantikan oleh avatar yang menggunakan algoritma AI untuk menyampaikan pesan dan petuah agama kepada jemaat.

Beberapa waktu lalu, di sebuah forum, saya berdiskusi dengan seorang kenalan baru yang tertarik pada tema filsafat, dan pada saat yang bersamaan, saya juga sedang mendalami filsafat Islam.

Diskusi kita berlanjut pada tema AI, dan ia menyebut bahwa dia telah selesai membaca buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari, seorang sejarawan Israel.

Dalam buku tersebut, Yuval menjelaskan tentang tiga agenda manusia yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, yaitu keabadian, kebahagiaan, dan keilahian. Namun, penekanan utama buku tersebut adalah pada konsep keabadian.

Konsep ini menggambarkan bagaimana manusia di masa depan akan berusaha mencapai keabadian, mirip dengan dewa.

Yuval menguraikan bahwa manusia di masa depan akan menggabungkan ilmu komputer, sains, bioteknologi, dan rekayasa genetika dengan teknologi untuk memperpanjang umur mereka. Ada kemungkinan adanya integrasi antara manusia dan mesin, di mana manusia bisa bertransformasi menjadi entitas robotik.

Teman saya kemudian berceloteh, "Maheng, jika suatu saat itu benar-benar terwujud, apakah kamu masih percaya pada agama (maksudnya percaya kepada Tuhan)?"

Saya tidak tahu persis apakah pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyerang keyakinan saya atau hanya rasa ingin tahu belaka. Namun, diskusi ini membuat saya merenungkan tentang bagaimana perkembangan teknologi dan kemajuan manusia di masa depan dapat mempengaruhi pandangan dan keyakinan keagamaan.

AI, Ancaman atau Tantangan dalam Era Modern Teknologi?

Teknologi apapun, termasuk kecerdasan buatan, memiliki dampak positif dan negatif tergantung pada cara penggunaannya.

Sebagai alat yang diciptakan oleh manusia, teknologi memiliki potensi untuk memberikan manfaat besar dalam berbagai bidang kehidupan, tetapi juga dapat menimbulkan tantangan dan masalah jika tidak digunakan dengan bijaksana.

Dampak positif AI, seperti peningkatan efisiensi. AI dapat memproses data secara cepat dan otomatis, meningkatkan efisiensi dan produktivitas manusia dalam berbagai sektor, termasuk bisnis, lalu lintas, kesehatan, hingga manufaktur.

Ilustrasi tilang elektronik. Foto: Republika

Contoh yang juga baru-baru ini dibicarakan adalah penerapan Electronic Traffic Law Enforcement System (ETLE) atau tilang elektronik oleh pemerintah untuk penyederhanaan penanganan pelanggaran lalu lintas. Selain itu, pemerintah juga telah menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) dan sejumlah aturan lainnya dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan ketertiban lalu lintas.

Teknologi AI memainkan peran penting dalam sistem ini dengan kemampuannya untuk mendeteksi dan mengenali pelanggaran lalu lintas secara otomatis, sehingga memberikan kontribusi pada peningkatan keselamatan jalan raya dan pengendalian lalu lintas yang lebih efisien.

Disaat yang bersamaan, dalam konteks Indonesia, belum adanya regulasi komprehensif terkait ancaman penyalahgunaan kecerdasan buatan bisa jadi tantangan serius. Perkembangan AI sesungguhnya menyisakan sebuah permasalahan mendasar yang lebih dari sekadar disrupsi.

Belum lagi hampir sebagian besar masyarakat Indonesia belum teredukasi dengan baik (knowledge gaps) agar dapat menggunakan AI dengan bijak.

Pada Desember 2016, Pontifical Academy of Sciences mengadakan workshop tentang AI, dan Stephen Hawking memberikan komentar penting. Ia menyatakan bahwa keuntungan dari penciptaan AI yang baik sangat besar, dapat meningkatkan kecerdasan manusia, dan menciptakan kemajuan dalam sains dan masyarakat.

Namun, ia juga menyoroti potensi bahaya, khususnya dalam perlombaan senjata AI dan kemungkinan AI berkehendak otonom yang bertentangan dengan kehendak manusia.

Ada keyakinan saya bahwa apa yang dikatakan Hawking bisa terjadi, ketika AI benar-benar otonom atau dalam bahasa al-Jazari automata itu bukan sekadar tantangan, tetapi juga ancaman. Begitu pula ketika apa yang dihipotesis oleh Yuval dalam Homo Deus benar-benar terwujud.

AI, secerdas apapun ia, hanya memiliki satu jenis kecerdasan, yaitu IQ (Intelligence Quotient) seperti yang disebutkan dalam namanya, Artificial Intelligence. AI belum memiliki EQ (Emotional Quotient) untuk mengukur kecerdasan emosional, dan juga belum ada SQ (Spiritual Quotient) yang terkait dengan kecerdasan spiritual.

Salah satu anugerah Tuhan untuk manusia adalah adanya jiwa dan dimensi spiritual. Jika manusia kehilangan EQ dan SQ, maka adegium "pekerjaan manusia diambil alih oleh AI" itu benar-benar akan terjadi.

Contohnya, jika kamu mahasiswa akuntansi, sekarang banyak aplikasi akuntan yang hitungannya jauh lebih akurat dan murah. Dan jika kamu mahasiswa kedokteran, banyak aplikasi kesehatan yang dapat menggantikan beberapa pekerjaanmu karena harganya lebih terjangkau.

Karena itu, ketika seorang manusia, akuntan, dokter kehilangan emosi, kepedulian antar sesama, dan dimensi spiritual, apa bedanya dengan robot? Dan sekarang sudah banyak terjadi.

Akibat dari hilangnya Emotional Quotient dan Spiritual Quotient, banyak manusia yang emosinya dibuat-buat (kepedulian buatan), kesalehannya juga dibuat-buat (kesalehan buatan), untuk membuat konten agar viral di media sosial, dan ini menimbulkan kepalsuan dan kehilangan esensi kemanusiaan. Inilah ancaman sekaligus tantangan tentang masa depan umat manusia. [mhg].

sumber : https://retizen.id/posts/230755/kecerdasan-buatan-ai-dalam-era-modern-tantangan-dan-potensi-ancaman-pada-kehidupan-manusia
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler