Cina Ajak 40 Dubes Negara Asing Kunjungi Xinjiang
Cina ingin dubes dan diplomat asing menyaksikan sendiri kehidupan di Xinjiang
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina mengungkapkan sebanyak 40 duta besar (dubes) negara asing yang bertugas di Beijing telah melakukan kunjungan ke Provinsi Xinjiang pada 31 Juli hingga 4 Agustus 2023. Diplomat-diplomat senior dari misi luar negeri 25 negara di Cina, termasuk Pakistan, Malaysia, Iran, dan Mesir, turut berpartisipasi dalam kunjungan tersebut.
Kemenlu Cina mengatakan, delegasi dubes dan diplomat tersebut berkunjung ke beberapa lokasi, yakni Kashgar, Aksu, dan Urumqi. Tempat-tempat yang mereka sambangi antara lain masjid, institut Islam, museum, perusahaan mesin pertanian pintar, proyek revitalisasi pedesaan, dan pameran kontra-terorisme.
“Mereka juga berbincang dengan ulama setempat dan orang-orang dari kelompok etnis minoritas untuk mengetahui lebih banyak tentang fakta-fakta tentang ekonomi yang berkembang, kebebasan beragama, perlindungan dan promosi warisan sejarah dan budaya dan sebagainya, serta mengapa kontra-terorisme dan deradikalisasi sah, dibenarkan, dan diperlukan untuk Xinjiang dan apa yang telah dicapai dalam hal ini,” kata Kemenlu Cina dalam pernyataan yang dirilis di situs resminya, Rabu (9/8/2023).
Lewat kunjungan itu, Cina ingin membiarkan para dubes dan diplomat asing menyaksikan sendiri kehidupan di Xinjiang, termasuk aktivitas keagamaan dan kebudayaannya. “Mereka tidak melihat adanya ‘kerja paksa’ di Xinjiang. Pertanian lokal telah menggunakan mesin paling canggih, sehingga efisiensi pemetikan kapas menjadi sangat meningkat,” ungkap Kemenlu Cina.
“Delegasi mencatat bahwa Xinjiang yang sebenarnya benar-benar berbeda dari cerita yang dibuat oleh beberapa media Barat dan mengungkapkan harapan untuk pertukaran serta kerja sama yang lebih dalam dengan wilayah tersebut,” tambah Kemenlu Cina.
Pada Agustus 2022 lalu mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet menerbitkan laporan setebal 48 halaman tentang kehidupan etnis Uighur di Xinjiang. Dalam laporan itu diungkapkan bahwa kejahatan kemanusiaan mungkin telah terjadi pada minoritas Uighur di Xinjiang. Laporan itu diterbitkan sesaat sebelum masa jabatan Bachelet sebagai Komisaris Tinggi untuk HAM PBB resmi berakhir.
“Tingkat penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap warga Uighur dan kelompok mayoritas Muslim lainnya dengan konteks (dalam) pembatasan dan perampasan hak-hak dasar secara lebih umum dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian bunyi salah satu kalimat dalam laporan yang disusun Bachelet.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM tak dapat mengonfirmasi tentang dugaan ditahannya lebih dari 1 juta warga Uighur di kamp-kamp interniran. Namun mereka menilai, sangat masuk akal untuk menyimpulkan bahwa pola penahanan sewenang-wenang skala besar terjadi setidaknya antara 2017 dan 2019
Laporan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM meminta Cina untuk membebaskan semua individu yang ditahan secara sewenang-wenang dan mengklarifikasi keberadaan mereka yang hilang. Cina mengecam laporan terkait dugaan pelanggaran terhadap etnis Uighur tersebut.
Cina telah konsisten membantah laporan yang menyebut ada pelanggaran HAM sistematis di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari satu juta masyarakat Uighur. Namun, Beijing tak menampik tentang adanya pusat-pusat pendidikan vokasi di sana. Beijing mengeklaim, pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.