Sinead O’ Connor: Dari Musik Rasta Sampai Memperjuangkan Cahaya Tuhan di Eropa
Pencarian Tuhan Sinead 'OConnor
REPUBLIKA.CO.ID -- Kisah meninggalnya Sinead’ Connor memang mengharu biru dunia. Kaum Muslim dibanyak negara pun bersedih. Apalagi ketika pecah berita pada 26 Juli 2023, bahwa penyanyi yang dikenal dahuku berkepala plontos dan kini mengenakan hijab asal Irlandia ini ditemukan sudah menghembuskan nafas terakhirnya di apartemennya.
Setelah itu meletuslah haru biru dari pembuat lagu hits dunia dan ‘nothing compares’ itu. Salah satunya adalah terekam pada sebuah artikel karya Brena Moore di Theconversation.com. Tulisan ini merekam cerita tentang penampilan O’Connor yang paling dikenang dalam duna hiburan sekaligus sebagai pelipur lara di tengah kesedihan dan keterkejutan.
Kisah tentang dia itu diawali pada masa tiga puluh satu tahun yang lalu, setelah membawakan lagu Bob Marley "War," O'Connor merobek foto Paus Yohanes Paulus II di televisi langsung. "Lawan musuh yang sebenarnya," katanya – referensi untuk pelehan seksual 'klerus'.
Akibat aksi ini, elama berbulan-bulan setelah itu, dia dilarang, dicemooh, diejek serta dianggap sebagai pemberontak gila.
Namin sikap O’Connor terhadap Katolik, seks dan kekuasaan jauh berbeda pada hari ini dibandingkan sikapnya pada tahun 1992, baik di New York atau Dublin. Pelecehan seksual, yang dulu hanya dibahas secara berbisik, sekarang mulai dibicarakan secara terbuka.
“Saya bergabung dengan paduan suara hari ini yang mengatakan O'Connor beberapa dekade lebih maju dari zamannya. Tapi membiarkannya begitu saja, kita kehilangan sesuatu yang mendalam tentang kompleksitas dan kedalaman imajinasi religiusnya. Sinéad O'Connor bisa dibilang salah satu seniman paling sensitif secara spiritual di zaman kita,’’ tulis Breena Moore.
Breena Moore mengaku telah lama tertarik pada tokoh-tokoh seperti O’Connor itu, yakni para penyair, seniman, pencari – yang berani mengembara di pinggiran tradisi keagamaan mereka. Pria dan wanita ini tidak puas dengan pusat-pusat arus utama kekuasaan religiu, tetapi tetap dipaksa oleh sesuatu yang religius yang tak terhapuskan agar tetap memberi makan mata air imajinasi artistik mereka.
Maka di situlah, yakni di sepanjang hidupnya, O'Connor menentang label agama, menjelajahi berbagai agama. Kebebasan yang indah dalam musiknya tidak dapat dipisahkan dari sesuatu yang transeden yang selalu dia cari.
'Menyelamatkan Tuhan dari agama'
Agama sering dianggap sebagai tradisi rahasia: yakni sebuah institusi seseorang yang berada di dalam atau di luar. Tapi di lapangan, jarang sesederhana itu.
Gereja Katolik memiliki pegangan kuat pada masyarakat Irlandia ketika O'Connor tumbuh dewasa – lataknya sebuah negara "teokrasi". Soal ini pernah dia sebutkan dalam wawancara dan memoarnya yang berudul ‘Remembering’. Di sini diceritakan selama bertahun-tahun bagaima O’Connor menyerukan agar lebih banyaj akuntabikitas untuk krisis pelecehan seksual ‘klerus’.
Tetapi O'Connor juga terbuka dalam cintanya pada aspek-aspek lain dari iman, meskipun sering dengan cara yang tidak ortodoks. Dia memiliki tato Yesus di dadanya dan terus mengkritik gereja saat tampil di televisi.
Keterangan foto: Sinéad O'Connor, dengan tato Yesus, memeluk penyanyi Deborah Harry di Gala Inspirasi amfAR 2011 di Los Angeles. Foto oleh Jeff Vespa/Getty Images untuk amfAR
Sepuluh tahun setelah penampilannya di SNL, O'Connor mengambil kursus di sebuah seminari di Dublin dengan seorang imam Dominika Katolik, Pendeta Wilfred Harrington. Bersama-sama, mereka membaca nabi-nabi Alkitab Ibrani dan Mazmur: kitab suci di mana suara Allah datang dalam bentuk yang lebih gelap, lebih murung, lebih manusiawi.
Terinspirasi oleh gurunya, dia membuat album cantik “Theology" yang didedikasikan untuknya. Album ini adalah campuran dari beberapa lagunya sendiri yang terinspirasi oleh Alkitab Ibrani – seperti "If You Had a Vineyard," terinspirasi oleh Kitab Yesaya; dan "Watcher of Men," yang diambil dari kisah alkitabiah Ayub – dan lagu-lagu lain yang pada dasarnya adalah versi yang dinyanyikan dari Mazmur favoritnya.
Dalam sebuah wawancara tahun 2007 dengan stasiun radio WFUV Universitas Fordham, O'Connor mengatakan bahwa dia berharap album itu dapat menunjukkan Tuhan kepada orang-orang ketika agama itu sendiri telah memblokir akses mereka kepada Tuhan.
Dalam hal itulah O'Connor melakukan tindakan semacam "menyelamatkan Tuhan dari agama," untuk "mengangkat Tuhan keluar dari agama." Alih-alih berkhotbah atau menulis, "musik adalah cara kecil saya melakukan itu," katanya, menambahkan, "Saya mengatakan itu sebagai seseorang yang memiliki banyak cinta untuk agama."
Rasta ke Islam
Pada saat yang sama, imajinasi religius O'Connor jauh lebih dari sekadar hubungan yang kompleks dengan agama Katolik. Agama di sekitar O'Connor eklektik dan intens.
Dia sangat dipengaruhi oleh tradisi Rastafarian Jamaika yang dia gambarkan sebagai "gerakan spiritual anti-agama tetapi sangat pro-Tuhan." Dia menganggap album awal Sam Cooke dengan Soul Stirrers sebagai album gospel terbaik yang pernah dibuat. Dia termasuk di antara pahlawan spiritualnya Muhammad Ali. Bahkan dia kemudian masuk Islam padsa tahun 2918 serta mengubah namanya mengubah namanya menjadi Shuhada 'Sadaqat.
O'Connor tampil selama konser di Admiralspalast di Berlin pada Desember 2019, setelah masuk Islam. Foto oleh Frank Hoensch/Redferns via Getty Images
Namun visi O'Connor tidak terfragmentasi, seolah-olah dia terus-menerus mengejar potongan-potongan. Keajaiban Sinéad O'Connor adalah bahwa semuanya menyatu, entah bagaimana, dalam kata-kata seorang seniman yang menolak untuk berbohong, untuk menyembunyikan atau tidak mengatakan apa yang dia pikirkan.
Ketika ditanya tentang spiritualitas, O'Connor pernah berkata bahwa dia lebih suka menyanyikannya, bukan membicarakannya – seperti yang dia lakukan dalam banyak lagu, dari nyanyian antionnya yang bercahay, himne Maria yang dinyanyikan pada kebaktian Paskah, hingga albumnya yang terinspirasi Rasta, “Throw Down Your Arms’
Dalam lagu berjudul " Something Beatiful," sebuah lagu dari album "Theology", O'Connor berbicara kepada Tuhan dan pendengar. Dia melagukan dan menulis syair lagu itu begini:
"Aku ingin membuat/ Sesuatu yang indah/ Untukmu dan darimu/ Untuk menunjukkanmu/ Aku memujamu."
Ya, memang O’Connor melakukannya. Tergerak oleh seninya berarti merasakan transendensi, mengintip ke dalam cahaya.