Dokter Paru: Masker Bukan Utama, Paling Penting Cari Sumber Polusi

Masyarakat sedapat mungkin membatasi aktivitas fisik berat di daerah polusi tinggi.

Republika/Thoudy Badai
Pekerja mengenakan masker saat beraktivitas di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (14/8/2023). Pemerintah menilai kondisi polusi udara di Jakarta sudah berada diangka 156 dengan keterangan tidak sehat. Hal tersebut diakibatkan emisi transportasi, aktivitas industri di Jabodetabek serta ondisi kemarau panjang sejak tiga bulan terakhir. Presiden Joko Widodo merespon kondisi tersebut dengan menginstruksikan kepada sejumlah menteri dan Gubernur untuk segera menangani kondisi polusi udara dengan memberlakukan kebijakan WFH untuk mengatasi emisi transportasi, mengurangi kendaraan berbasi fosil dan beralih menggunakan transportasi massal, memperbanyak ruang terbuka hijau, serta melakukan rekayasa cuaca.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama berpendapat masker bukan utama untuk mencegah polutan udara, tapi yang paling penting pemerintah dan masyarakat mencari sumber polusi lalu mengendalikannya.

Tjandra melalui pesan elektroniknya kepada Antara, Selasa (15/8/2023), berpendapat walau tidak sepenuhnya mencegah polutan udara, masker setidaknya dapat membantu.

Menurut dia, semakin bagus mutu masker maka lebih baik perlindungannya. Namun, belum ada bukti ilmiah dengan angka pasti, semisal masker N95, masker bedah, atau dua dan tiga lapis masker akan menurunkan polusi sekian persen.

"Akan sangat tergantung dari kadar polusi di tempat seseorang sedang berada, embusan angin, mungkin kelembapan dan lainnya," kata Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu.

Lebih lanjut terkait hal yang bisa dilakukan masyarakat demi mencegah terkena polutan udara, yakni sedapat mungkin membatasi aktivitas fisik berat di daerah polusi udara tinggi, misalnya di jalan macet dan lainnya.

"Tentu hal ini tidak mudah dilakukan, tetapi setidaknya perlu jadi perhatian kalau dimungkinkan," ujar Tjandra.

Sementara itu, terkait alat air purifier atau pemurni udara untuk mencegah polutan, seperti halnya masker, ini memerlukan bukti ilmiah yang valid terlebih dulu, juga akan tergantung dari seberapa besar polusi udara di dalam ruangannya, bagaimana ventilasi ruangan itu dan lainnya.

Oleh karena itu, Tjandra mengajak masyarakat tidak cepat mengambil kesimpulan sebelum ada data ilmiah yang jelas. Kemudian, untuk masyarakat yang mempunyai penyakit kronik pernapasan dan ada obat yang harus rutin dikonsumsi maka sebaiknya ingat untuk mengonsumsinya sesuai aturan yang ada.

Selain itu, apabila ada perburukan dan keluhan tambahan semisal serangan asma, maka disarankan segera berkonsultasi ke petugas kesehatan atau setidaknya menggunakan obat yang memang sudah dianjurkan untuk mengatasi perburukan keluhan.

Lalu, dengan sedang adanya polutan di udara maka orang-orang tidak menambah polusi lain masuk ke paru dan saluran napas. "Seperti janganlah merokok dan jangan membakar, serta upayakan jangan melakukan kegiatan yang menambah polusi udara di sekitar kita," kata Tjandra.

Sementara itu, sebagai saran pada pemerintah, Tjandra menekankan pentingnya identifikasi secara lebih jelas tentang apa saja yang menjadi penyebab polusi udara sekarang ini dan melakukan tindakan nyata di lapangan untuk mengatasi penyebabnya.

"Kemacetan lalu lintas tentu punya peran amat penting, dan perlu penanganan segera," demikian kata dia.

Polusi udara khususnya di Jakarta menjadi masalah selama beberapa waktu terakhir dan sejumlah wilayah di Jakarta tercatat masuk dalam kategori sangat tidak sehat.

Presiden Joko Widodo pada Senin (14/8/2023) menggelar rapat terbatas dengan sejumlah menteri hingga gubernur membahas permasalahan polusi ini. Presiden kemudian menginstruksikan sejumlah langkah untuk mengatasi polusi udara seperti penerapan bekerja dari rumah (work from home) hingga rekayasa cuaca.

Baca Juga


sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler