Alasan Taliban Bersikeras Larang Perempuan Kembali Bersekolah

Ada ketidaksepakatan diantara ulama Taliban tentang pendidikan perempuan.

AP Photo/Ebrahim Noroozi
Para siswi sekolah Afghanistan menghadiri kelas mereka di Kabul, 25 Maret 2023.
Rep: Dwina Agustin Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, KANDAHAR -- Taliban tetap teguh dalam pendirian untuk melarang perempuan mendapatkan pendidikan formal. Larangan bagi anak perempuan bersekolah di atas kelas enam adalah yang pertama dari serangkaian pembatasan yang menjauhkan perempuan Afghanistan dari ruang kelas.

Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengesampingkan pertanyaan dari Associated Press tentang pembatasan pada anak perempuan dan perempuan. Menurut Mujahid, tidak ada gunanya membicarakannya kecuali ada pembaruan. Dia memang menyarankan perubahan tidak mungkin.

Dalam percakapan dengan diplomat asing dan pejabat bantuan, Taliban biasanya menghindari menyatakan penentangan pendidikan perempuan pada prinsipnya. Kelompok yang menguasai Afghanistan ini biasanya beralasan bahwa membutuhkan lebih banyak sumber daya dan waktu untuk memungkinkan pemisahan gender di ruang kelas dan kampus universitas, sejalan dengan interpretasi mereka tentang Syariah.

"Semuanya akan berada di bawah pengaruh syariah," ujar Mujahid.

Ditanya mengapa Taliban tidak mencontoh negara-negara mayoritas Muslim dengan sistem berbasis syariah untuk memulai kembali pendidikan perempuan, dia mengatakan Taliban tidak membutuhkan bantuan orang lain. Pemimpin tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada dipandang sebagai kekuatan utama di balik larangan yang dikeluarkan secara tidak terduga pada Maret 2022.

Mujahid mengatakan, ada ketidaksepakatan di antara ulama tentang pendidikan perempuan. Dia menjelaskan, menjaga keharmonisan di antara beberapa pihak ini lebih penting daripada mengembalikan anak perempuan dan perempuan ke ruang kelas.

Dalam sebuah pernyataan Selasa (15/8/2023), pemerintah Taliban mencatat apa yang dianggapnya sebagai pencapaiannya, termasuk memulihkan rasa aman pribadi dan kebanggaan nasional. Taliban pun memandang kekuasaannya di Afghanistan sebagai tanpa akhir, memperoleh legitimasi dari hukum Islam, dan tidak menghadapi ancaman yang signifikan.

“Tidak ada istilah tetap untuk pemerintahan Islam,” kata Mujahid tentang pemerintahan Taliban yang diklaim mendapat legitimasi dari hukum Islam atau syariah.

“Itu akan berlaku selama mungkin dan selama emir (pemimpin tertinggi) tidak disingkirkan karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariah," ujarnya.

Taliban merebut kekuasaan pada 15 Agustus 2021, ketika pasukan Amerika Serikat (AS) dan NATO menarik diri setelah perang selama dua dekade. Untuk menandai hari jadi, 15 Agustus pun dinyatakan sebagai hari libur nasional. Tapi perempuan yang sebagian besar dilarang dari kehidupan publik tidak ikut serta dalam perayaan tersebut.

Selatan kota Kandahar, tempat kelahiran Taliban, personel militer berpose dengan kendaraan lapis baja. Para pemuda berkeliling kota dengan sepeda, sepeda motor dan mobil, mengibarkan bendera dan mengacungkan senjata. Selama dua tahun terakhir, semakin terlihat bahwa pusat kekuasaan ada di Kandahar, rumah pemimpin tertinggi Taliban.

Sedangkan di ibu kota, Kabul, truk pick-up yang penuh dengan laki-laki dan anak laki-laki melintasi kota. Para pria mengerumuni Martyrs Square, berswafoto dan memanjat ke sebuah monumen. Anak laki-laki berpose dengan senapan.

Mujahid mengklaim pemerintah saat ini bertindak secara bertanggung jawab dan rakyat Afghanistan mendambakan konsensus dan persatuan. “Tidak perlu ada yang memberontak,” katanya.

Badan-badan bantuan, kelompok-kelompok hak asasi manusia, dan PBB mengeluarkan pernyataan yang mengutuk pemerintahan Taliban pada pekan ini. Mereka memperingatkan krisis kemanusiaan yang mencengkeram penduduk Afghanistan.

World Vision mengatakan, jumlah orang yang membutuhkan bantuan meningkat sekitar lima juta jiwa. Dikatakan 15 juta orang akan menghadapi tingkat kerawanan pangan "krisis" tahun ini, dengan 2,8 juta dalam kategori "darurat", tertinggi keempat di dunia.

Aliansi kelompok hak asasi, termasuk Amnesty International, mengatakan, Taliban harus ditekan untuk mengakhiri pelanggaran dan penindasan. Kelompok itu harus diselidiki atas dugaan kejahatan berdasarkan hukum internasional, termasuk penganiayaan gender terhadap perempuan dan anak perempuan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, keprihatinan tentang kurangnya akses warga Afghanistan ke layanan kesehatan dasar. Juru bicara Dr Margaret Harris mengatakan, 20 persen dari populasi menderita masalah kesehatan mental dan empat juta dari kecanduan narkoba serta gangguan terkait.

“Sebagian besar fasilitas kesehatan memiliki infrastruktur yang buruk, dan ada lebih sedikit petugas kesehatan yang memenuhi syarat karena imigrasi, pembatasan pergerakan dan pekerjaan perempuan, dan berkurangnya dana untuk membayar gaji dan menjaga agar fasilitas tetap buka,” kata Harris. 

Baca Juga


 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler