KPPPA Dampingi 5 Siswi SD Jadi Korban Pencabulan ASN di NTT
KPPPA akan mendampingi 5 siswi SD yang menjadi korban pencabulan ASN di NTT.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengecam keras terjadinya kasus pencabulan terhadap lima siswi yang dilakukan seorang oknum ASN di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Para korban berusia di rentang 8-13 tahun.
"Kami sangat menyesalkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan seorang ASN," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar dalam keterangannya yang diterima Republika pada Kamis (17/8/2023).
Nahar memastikan upaya pendampingan terhadap para korban oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Kabupaten Alor. Hal ini meliputi pendampingan psikis dan hukum bagi korban serta proses perkembangan tindakan hukum bagi terduga pelaku.
"Kejadian tersebut sudah pasti menimbulkan trauma mendalam serta telah mengganggu tumbuh kembang para korban," ujar Nahar.
Pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Kabupaten Alor. Modus pencabulan pelaku dengan cara mengimingi para korban dengan uang jajan sebesar Rp 5.000 hingga Rp 50.000. Aksi bejat tersebut dilakukan di rumah pelaku.
"Rumah pelaku dan para korban masih dalam satu kompleks di Kabupaten Alor," ujar Nahar.
Dari infomasi yang diperoleh KemenPPPA, para korban telah mendapatkan perlindungan. Mereka ditempatkan di rumah aman. KemenPPPA akan terus berkoordinasi untuk memastikan korban tetap mendapatkan pendampingan yang diperlukan di kota asalnya.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Kabupaten Alor dimana mereka sudah bergerak cepat mengupayakan pendampingan psikis bagi para korban," ujar Nahar.
Adapun terduga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 82 ayat (4) jo pasal 76E Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan undang-undang RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang, juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pemberlakuan pasal ini untuk korban lebih dari 1 orang dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara ditambah 1/3 dari ancaman pidana karena menimbulkan korban lebih dari 1 orang.
"Kami mengajak semua masyarakat yang mengalami, mendengar, ataupun melihat terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk berani dan segera melapor," ucap Nahar.