Karya Seni Buatan AI tak akan Peroleh Hak Cipta

Hakim federal di Amerika Serikat membuat putusan terkait karya seni yang dibuat AI.

UNM
Seorang hakim federal di Amerika Serikat memutuskan karya seni yang dibuat oleh AI tidak bisa mendapatkan perlindungan hak cipta./ilustrasi
Rep: Shelbi Asrianti Red: Natalia Endah Hapsari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang hakim federal di Amerika Serikat telah membuat putusan terkait karya seni yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Menurut sang hakim, karya seni yang dibuat oleh AI tidak bisa mendapatkan perlindungan hak cipta.

Baca Juga


"Undang-undang hak cipta tidak pernah meluas sejauh ini untuk melindungi karya yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk baru teknologi yang beroperasi tanpa tangan manusia yang membimbing," kata Hakim Distrik AS, Beryl Howell, dikutip dari laman Hollywood Reporter, Senin (20/8/2023).

Putusan Hakim Howell diumumkan pada Jumat (18/8/2023), dalam perintah menolak pengajuan hukum dari Stephen Thaler, kepala eksekutif perusahaan Imagination Engines. Thaler ingin menantang posisi pemerintah AS yang menolak untuk mendaftarkan karya yang dibuat oleh AI. 

Pada 2018, Thaler mendaftarkan sistem AI bernama Creativity Machine untuk memiliki hak cipta atas karya seni yang dihasilkannya, "A Recent Entrance to Paradise". Menurut Thaler, karya seni itu dibuat secara otonom oleh algoritma komputer yang dijalankan pada mesin.

Kantor hak cipta menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa hubungan antara pikiran manusia dan ekspresi kreatif merupakan elemen perlindungan yang sangat penting. Thaler lantas menggugat penolakan itu, berargumen bahwa AI seharusnya diakui sebagai kreator dan ada hak yang bisa diberikan kepada pemilik mesin.

Berdasarkan pengaduan Thaler, penolakan Kantor hak cipta AS amat sewenang-wenang, menyalahgunakan kebijakan, dan tidak sesuai dengan hukum. Dia menyebutnya sebagai pelanggaran atas UU prosedur administratif, dan meminta peninjauan kembali atas tindakan itu.

Dalam gugatan, tertera pertanyaan mengenai perlindungan hukum hak cipta terhadap suatu karya yang dihasilkan oleh komputer. Menanggapi itu, Howell menegaskan pengadilan menolak gugatan Thaler. "Dengan tidak adanya keterlibatan manusia dalam pembuatan karya, jawaban yang jelas dan lugas adalah: tidak," tulis Howell.

Secara lebih terperinci, dia menyebutkan bahwa UU hak cipta AS hanya melindungi karya cipta manusia dan dirancang untuk beradaptasi dengan zaman. Ada pemahaman yang konsisten bahwa kreativitas manusia adalah inti dari hak cipta, bahkan ketika kreativitas manusia disalurkan melalui alat baru atau ke media baru.

Dia mencontohkan karya foto. Meski kamera menghasilkan reproduksi mekanis dari suatu peristiwa, perangkat itu berfungsi hanya setelah manusia mengembangkan "konsepsi mental". Artinya, karya foto merupakan produk berbagai keputusan seperti posisi subjek, pengaturan alat,  pencahayaan, dan aspek lainnya. "Keterlibatan manusia di dalamnya, dan kendali kreatif tertinggi atas karya yang dipermasalahkan adalah kunci kesimpulan bahwa jenis karya baru berada dalam batas hak cipta," ungkap Howell.

Kasus hukum lain telah mencapai kesimpulan serupa. Misalnya, kasus terkemuka antara Burrow-Giles Lithographic Company dengan Sarony, di mana Mahkamah Agung AS memperluas perlindungan hak cipta atas foto-foto yang merupakan representasi konsepsi intelektual asli seorang penulis. 

Dalam kasus lain, ada pengadilan banding federal yang menyatakan bahwa foto yang diambil oleh seekor monyet (meski memakai kamera) tidak bisa mendapat hak cipta. Itu karena hewan tidak memenuhi syarat untuk dilindungi hak ciptanya.

Hakim Howell mengutip beberapa hal itu dalam keputusannya. "Penggugat tidak dapat menunjukkan kasus di mana pengadilan telah mengakui hak cipta dalam sebuah karya yang berasal dari non-manusia," ujarnya dalam perintah penolakan tersebut.

Dia juga mendalami tujuan UU hak cipta, yang menurutnya mendorong individu manusia untuk terlibat dalam ciptaan. Hak cipta dan paten merupakan bentuk kepemilikan yang dijamin pemerintah untuk dilindungi, dan dipahami bahwa mengakui hak eksklusif atas itu akan mendukung kreasi dan penemuan.

Putusan melanjutkan, hukum hak cipta tidak dirancang untuk menjangkau kreator yang bukan manusia. Pada Maret 2023, kantor hak cipta AS menegaskan bahwa sebagian besar karya yang dihasilkan oleh AI tidak dapat dilindungi hak cipta, tetapi mengklarifikasi bahwa materi yang pembuatannya dibantu AI memenuhi syarat untuk dilindungi dalam kasus tertentu. 

"Permohonan untuk sebuah karya yang dibuat dengan bantuan AI dapat mendukung klaim hak cipta jika manusia memilih atau mengaturnya dengan cara yang cukup kreatif sehingga karya yang dihasilkan merupakan karya asli dari kepenulisan," tutur kantor tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler