Berusia 108 tahun, Suara Muhammadiyah Diusulkan Jadi Warisan Budaya Benda dan Tak Benda

Haedar sepakat mengenai usulan tanggal 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah.

Suara Muhammadiyah
Iklan pemuatan ucapan halal bihalal di majalah Suara Muhammadiyah pada 1926.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah mengusulkan majalah Suara Muhammadiyah (SM) menjadi warisan budaya benda dan tak benda. Hal ini karena media berusia 108 tahun ini dinilai telah berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa dengan literasinya.


Ketua MPI PP Muhammadiyah Dr Muchlas menjelaskan bahwa sebagai majalah yang terbit sejak 1915, SM merupakan satu media yang tidak hanya meningkatkan literasi dan menumbuhkan gairah pers di Indonesia, tapi memiliki nilai- nilai budaya juga. 

"Kami akan mengusulkan kepada pemerintah sebagai warisan budaya benda dan tak benda. Warisan budaya benda akan kita daftarkan paling tidak SM edisi kedua yang ada di perpus Leiden, Belanda, kita punya copy-nya. Syukur kalo bisa melacak edisi pertama, sekurang-kurangnya yang edisi kedua," kata Muchlas dalam diskusi Hari Pers Muhammadiyah di SM Tower and Convention, Rabu (23/8/2023).

Menurut Muchlas, majalah SM juga berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan. Ini ditunjukan dalam salah satu topiknya yakni bagaimana umat Islam harus bersikap dalam penjajahan Belanda. 

Dalam kesempatan tersebut, Muchlas langsung menyampaikan surat usulan tersebut kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir. Surat itu juga mengusulkan hari pers Muhammadiyah pada tanggal 13 Agustus, yakni tanggal terbitan pertama majalah Suara Muhammadiyah.

Menanggapi hal tersebut, Haedar sepakat bahwa majalah SM layak untuk dijadikan warisan budaya benda dan tak benda. Ia menjelaskan bahwa selain berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa lewat literasi, majalah SM juga telah memperkenalkan bahasa Indonesia.

"Majalah SM memperkenalkan bahasa Indonesia pada 1921, sebelum Sumpah Pemuda. Jadi ini layak sebagai gerakan pembaharuan Indonesia yang sekaligus jarang dipopulerkan oleh kita sendiri bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan kebangkitan nasional," kata Haedar.

Hubungan Muhammadiyah yang baik dengan Budi Oetomo pada masa sebelum kemerdekaan, kata Haedar, juga berkontribusi dalam pemasaran majalah ini ke organisasi tersebut dan menyampaikan pemikiran-pemikiran Muhammadiyah lebih luas lagi. Bahkan menjadi inspirasi bagi pers dan media yang berkembang hingga saat ini.

Selain itu, Haedar juga sepakat mengenai usulan tanggal 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah. Ia bahkan ingin menambahkannya menjadi Hari Pers dan Literasi Publik Muhammadiyah.

"Meskipun itu harus diputuskan di hasil permusyawaratan di sidang pleno Muhammadiyah, tapi saya sendiri setuju. Itu usul yang sangat bagus dan bisa disatu rangkaikan saja, biar tidak berbeda dan fastabiqul khairat jadi Hari Pers dan Literasi Publik Muhammadiyah," kata Haedar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler