RI tak Intervensi Skema Pembiayaan Transisi Energi di ASEAN
Sebab satu skema pembiayaan EBT tidak bisa diterapkan bagi semua negara.
REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Pemerintah Indonesia tidak mengintervensi skema pembiayaan di negara-negara ASEAN untuk transisi menuju energi bersih pada 2060.
"Kami tidak akan menyeragamkan dari sisi pembiayaan dari masing-masing negara," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di sela Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-41 dan Forum Bisnis Energi ASEAN di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (24/8/2023).
Menurut dia, satu skema pembiayaan tidak bisa diterapkan di semua negara untuk mendanai program yang bertujuan menurunkan emisi karbon itu.
Dia menjelaskan lembaga yang memfasilitasi pembiayaan di ASEAN di antaranya Bank Pembangunan Asia (ADB) yang bermarkas di Filipina. Bank multilateral itu, lanjut dia, mendorong pembiayaan yang didukung oleh ASEAN Center for Energy (ACE) yang bernaung di bawah struktur ASEAN.
Meski pembiayaan transisi energi di ASEAN tak bisa seragam, tapi Dadan menambahkan semua negara di kawasan sepakat untuk mendorong upaya kreatif untuk pendanaan.
Sementara itu, Manager Hubungan Korporasi ACE Andy Tirta meyakini investasi sektor energi termasuk energi bersih untuk mendukung konektivitas antarnegara, akan menarik investor karena permintaan energi terus meningkat. Ada pun Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksi permintaan energi di ASEAN rata-rata tumbuh tiga persen per tahun.
"Pastinya banyak orang (investor) tertarik membantu itu mulai dari bank pembangunan atau swasta. Ini bisnis yang investasinya pasti digunakan, ada pembelinya, dan dominan bisa berpuluh tahun," kata Andy yang juga Ketua Forum Bisnis Energi ASEAN tersebut.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Forum Pembiayaan Energi ASEAN menyebutkan solusi untuk menggaet investasi guna mendukung transisi energi di Asia Tenggara di antaranya pendanaan campuran atau blended finance. Selain itu, bisa juga melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (PPP), dan pendanaan internasional.
Berdasarkan laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) untuk mengimplementasikan transisi energi, negara di ASEAN perlu pembiayaan sekitar 29 triliun dolar AS hingga 2050 dengan skema 100 persen energi terbarukan. Investasi itu untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan, trasmisi distribusi nasional dan internasional, penyimpanan pasokan BBM nabati, elektrifikasi, mobil listrik, dan stasiun pengisian kendaraan listrik. Tak hanya itu, juga menyangkut biaya tenaga kerja dan operasional.
Untuk mendorong investasi swasta, pemerintah menyiapkan insentif, kerangka kebijakan hingga prosedur investasi yang transparan.