BI Proyeksikan Suku Bunga The Fed Masih Naik Tinggi
The Fed pada September ini masih akan menaikan FFR.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memproyeksikan suku bunga The Fed pada September 2023 masih akan lebih tinggi. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan peluang kenaikan suku bunga federal Funds Rate (FFR) masih ada.
"AS yang kami perkirakan September ini masih akan menaikan FFR bahkan juga ada probabilitas naik dua kali lipat," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Agustus 2023, Kamis (24/8/2023).
Perry menyebut, kemungkinan tersebut dapat terjadi karena tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) masih tinggi. Selain itu, pasar tenaga kerja di Amerika Serikat juga masih ketat.
"Tapi baseline kami satu kali (kenaikan FFR), meski ada potensi risiko dua kali karena inflasi masih tinggi," tutur Perry
Perry mengungkapkan, saat ini, ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat. Pergeseran komposisi pertumbuhan ekonomi global 2023 semakin kuat meskipun secara keseluruhan tahun pertumbuhan ekonomi global sama dengan perkiraan sebelumnya 2,7 persen.
Di satu sisi, Perry mengatakan, pertumbuhan ekonomi China juga lebih rendah akibat keyakinan pelaku ekonomi yang melemah. Selain itu juga utang rumah tangga yang tinggi sehingga menurunkan konsumsi dan kinerja properti yang turun yang berdampak pada investasi.
Ekonomi Eropa juga melemah dipicu oleh dampak eskalasi ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) lebih baik dari perkiraan semula dipengaruhi konsumsi yang membaik ditopang kenaikan upah dan pemanfaatan tabungan yang tinggi (excess saving).
"Tekanan inflasi negara maju masih tinggi dipengaruhi perekonomian yang kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat, sedangkan inflasi di negara berkembang telah menurun. Hal ini diperkirakan mendorong berlanjutnya kenaikan suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate AS," ungkap Perry.
Berbagai perkembangan tersebut semakin menaikkan ketidakpastian pasar keuangan global dan mendorong aliran modal ke negara berkembang lebih selektif. Menurutnya, tekanan nilai tukar di negara berkembang meningkat sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia.