Tangani Polusi Udara di Jabodetabek, Pemerintah Analogikan Seperti Covid-19

Pemerintah menganalogikan penanganan polusi udara seperti Covid-19.

Republika/Putra M. Akbar
Mobil kepolisian menyemprotkan air sebagai upaya untuk membersihkan debu-debu yang bertebaran di jalanan akibat polusi udara. Pemerintah menganalogikan penanganan polusi udara seperti Covid-19.
Rep: Fauziah Mursid Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus mengupayakan penanganan masalah polusi udara di Jabodetabek tanpa mengesampingkan sektor yang berkaitan mulai ekonomi dan aktivitas masyarakat. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengatakan pemerintah berhati-hati merumuskan agar penanganan masalah polusi udara ini efektif tanpa membuat terkejut sektor ekonomi.

Baca Juga


Rachmat pun mencontohkan langkah kehati-hatian ini seperti halnya meramu kebijakan saat pandemi Covid-19 yang berdampak ke sektor-sektor lainnya.

Rachmat mengatakan, penyebab masalah polusi udara di Jabodetabek sangat kompleks yang intinya berasal dari pembakaran tidak sempurna dan diperparah dengan cuaca musim kemarau. Berbagai upaya yang bisa dilakukan di antaranya mengurangi aktivitas pembakaran tersebut.

"Misalnya kita lockdown, kita matiin semua lampu satu hari, kita belum tentu polusinya juga langsung membaik. Itu dengan instan karena ini masalah yang cukup kronis juga. Jadi harus kita lakukan pelan-pelan tanpa perlu juga membuat shock kegiatan ekonomi dan sebagainya," ujar Rachmat dalam konferensi pers "Penanganan Polusi Udara" secara daring, Kamis (24/8/2023).

Karena itu, fokus Pemerintah saat ini adalah bagaimana melindungi masyarakat dan mengupayakan untuk tidak terpapar dengan polusi udara yang tercemar tersebut. Salah satu upayanya dengan sistem kerja dari rumah (work from home) yang sudah diberlakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai 21 Agustus lalu.

"Mungkin ada kemiripan dengan zaman Covid. Secara fundamental, kalau Covid itu kita nggak mau orang ketemu orang karena kita nggak tahu orang itu ada virus apa nggak, menular apa nggak, dan sebagainya. Kalau yang ini, kita nggak mau orang ketemu udara kotor. Jadi bukan berarti kita nggak mau mereka mobile, jadi kita nggak mau mereka harus keluar rumah," ujarnya.

Karena itu, Pemerintah memberi arahan agar perusahaan atau organisasi bisa mengurangi karyawan yang bisa terpapar. Kedua, lanjut Rachmat, Pemerintah juga mengimbau penggunaan masker di tengah udara yang tidak sehat saat ini.

Bersamaan dengan pengurangan mobilitas masyarakat, otomatis akan membuat jumlah kendaraan juga berkurang. "Jadi perjalanan kita dari rumah ke tempat kita beraktivitas mungkin lebih pendek waktunya, mobil motor di jalan nggak perlu nyala lebih lama. Jadi ada dampaknya juga pembakaran yang terjadi di kendaraan pribadi kita itu juga ikut berkurang," ujarnya.

Selain itu, upaya jangka panjang yang dilakukan adalah dengan mendorong penggunaan transportasi publik lebih masif agar mengurangi jumlah pengendara pribadi di jalan. Hal ini berdampak dengan berkurangnya jumlah emisi dari kendaraan bermotor.

Ditambah, Pemerintah juga terus mengakselerasi peralihan kendaraan berbasis bahan bakar ke kendaraan listrik dengan memberikan program insentif.

"Kedua harus pikirkan juga tadi semua kendaraan yang di jalan discourage, kalau dia nggak lolos uji emisi, mungkin nanti ada pajak dan ada yang lain. Kalau udah diperiksa sekali, dipajakin, didenda gitu, kedua kali didenda, nah, ketiga kali gimana? Apakah dia tidak diperbolehkan beroperasi atau seperti apa? Itu nanti akan kita coba godok," ujarnya.

Rachmat pun kembali menyinggung langkah bertahap testing dan tracing saat pandemi Covid-19 diterapkan dalam penanganan masalah udara tersebut.

"Istilahnya hal-hal seperti ini testingnya bisa cepat, tetapi ada beberapa yang mungkin kita perlu rumuskan dulu secara lebih detail agar tepat sasaran," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler