Psikolog: Keberadaan Grup WhatsApp Ortu Mahasiswa Sudah Kelewatan, tak Ajarkan Kemandirian

Keberadaan grup WA orang tua dan pihak kampus tuai pro-kontra di masyarakat.

Unsplash
Logo Whatsapp. Grup WhatsApp beranggotakan orang tua dan perwakilan kampus menuai pro-kontra di masyarakat.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang tua mahasiswa yang kedapatan membuat grup WhatsApp (WAG) dengan pihak kampus, tempat anaknya berkuliah memicu kegaduhan di media sosial. Banyak warganet menganggapnya tidak penting meski ada juga yang menyebut pembuatan grup itu wajar.

Psikolog Kasandra Putranto berpendapat pembuatan grup WhatsApp tersebut merupakan hal yang tidak perlu, bahkan kelewatan.

Baca Juga


"Dengan orang tua yang terlalu involve, justru tidak mengajarkan kemandirian kepada anak," kata Kasandra kepada Republika.co.id, Kamis (24/8/2023).

Kasandra menyampaikan, sudah selayaknya mahasiswa menampilkan keterampilan sosial dan kemandirian yang memadai tanpa melibatkan orang tua. Alasan lain, penting bagi orang tua dan mahasiswa untuk memiliki batasan privasi dan ruang pribadi.

Mahasiswa pun disebutnya ingin menjaga privasi dan memiliki kebebasan untuk berinteraksi dengan lingkungan kampus tanpa campur tangan orang tua. Lebih lanjut Kasandra menyampaikan, fenomena grup WhatsApp itu tak ada kaitannya dengan karakteristik generasi tertentu.

Jika ditelisik, rata-rata orang tua yang saat ini anaknya berkuliah masuk kategori Gen X, yakni generasi yang lahir pada 1965-1980. Sementara, anak yang berkuliah merupakan Gen Z, alias generasi yang lahir antara tahun 1997-2012.

"Gen X dan Gen Z, tidak ada hubungannya dengan fenomena orang tua minta ada grup WhatsApp," tutur Kasandra.

Lulusan Universitas Indonesia itu menyebutkan, Gen X punya karakter tipikal yang mandiri. Bahkan, tidak ada grup WhatsApp pada zaman mereka berkuliah dahulu. Artinya, orang tua dari generasi X sudah terbiasa tidak memiliki saluran komunikasi sejenis grup WhatsApp saat mereka menjadi mahasiswa.

Sementara itu, Gen Z memiliki tipikal akrab dengan gawai. Namun, baik anak yang tidak mandiri maupun orang tua yang overprotektif, disebut Kasandra, bukan karena Gen X atau Gen Z.

"Kalau anak tidak bisa mandiri sejak SMA, kemungkinan besar akan bermasalah pada masa kuliah," katanya.

Perempuan yang memiliki 30 tahun pengalaman di bidang psikologi klinis dan 20 tahun pengalaman di bidang psikologi forensik itu menyoroti pula pola pengasuhan yang disebut helicopter parenting. Gaya pengasuhan itu ditandai dengan pengawasan yang sangat ketat dan keterlibatan yang intensif dari orang tua dalam kehidupan anak-anak mereka.

Dalam konteks ini, orang tua yang menerapkan helicopter parenting memang mungkin memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam grup WhatsApp orang tua mahasiswa atau grup orang tua-pihak kampus. Dengan begitu, mereka bisa terus berinteraksi dan mengawasi aktivitas anak mereka di kampus.

"Mereka mungkin ingin memastikan bahwa anak-anak mereka berada dalam lingkungan yang aman dan mendapatkan dukungan yang memadai," ujar pendiri Attitude Achievement for Titanium Generation itu.

Terlepas dari pola pengasuhannya, orang tua yang tergabung di grup WhatsApp (WAG) demikian kemungkinan merasa perlu terhubung dengan perkembangan dan kesejahteraan anak mereka di kampus. Dengan bergabung di WAG, orang tua berharap memperoleh informasi terkini tentang kegiatan akademik, sosial, dan kesehatan.

Alasan lain, orang tua ingin memperoleh rasa aman dengan mendapatkan akses langsung ke informasi penting tentang kegiatan kampus, tugas, jadwal ujian, dan lain sebagainya. Itu pun bisa jadi saluran komunikasi untuk berkoordinasi dalam hal-hal seperti administrasi, pembayaran, dan kegiatan kampus lainnya.

Ada pula yang ingin mencari wadah berbagi pengalaman antara orang tua mahasiswa, memberikan dukungan emosional, dan bertukar pikiran dengan orang tua lainnya terkait situasi tertentu. Semua itu diharap memberikan rasa saling mendukung.

Kasandra memahami bahwa sebagian orang tua mungkin memiliki kekhawatiran dan pertanyaan tentang perkembangan akademik dan kesejahteraan anak mereka di kampus. Namun, dia menyebut WAG demikian sebenarnya tidak perlu.

Kalau pun diperlukan sarana komunikasi antara pihak universitas dan orang tua, bisa menggunakan medium lain, seperti email. Ada pun jika WAG orang tua dan pihak kampus tetap dibuat, penting untuk mematuhi etika komunikasi yang baik dan menjaga saluran komunikasi terbuka dan transparan.

"Keputusan untuk terlibat dalam WAG kampus harus didasarkan pada kesepakatan dan kesepahaman bersama antara orang tua, mahasiswa, dan pihak kampus," ungkap Kasandra.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler