Raisi: Iran Dukung Upaya Dedolarisasi oleh BRICS

Saat ini kepercayaan global terhadap efektivitas BRICS semakin meningkat.

AP
Presiden Iran, Ebrahim Raisi menjadi salah satu pemimpin dunia yang diundang ke KTT BRICS ke-15.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG – Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan negaranya mendukung upaya BRICS untuk menghilangkan ketergantungan pada dolar AS. Saat ini Iran diketahui sudah diterima menjadi anggota baru BRICS.

“Republik Islam Iran dengan tegas mendukung keberhasilan upaya BRICS sejalan dengan de-dolarisasi dari perdagangan dan interaksi ekonomi antar anggota dan juga penggunaan mata uang lokal,” kata Raisi saat menghadiri KTT BRICS, Kamis (24/8/2023), dikutip laman Al Arabiya.

Dia pun mengapresiasi keputusan BRICS untuk memperluas keanggotaan. Menurutnya, saat ini kepercayaan global terhadap efektivitas BRICS semakin meningkat. “BRICS dapat membantu memecahkan permasalahan komunitas internasional,” ujar Raisi.

Pada Kamis lalu, Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa telah mengumumkan bahwa BRICS akan menerima enam anggota baru. “Kami memutuskan untuk mengundang Argentina, Mesir, Republik Demokratik, Federal Ethiopia, Republik Islam Iran, Kerajaan Arab Saudi, dan UEA untuk menjadi anggota penuh BRICS. Keanggotaan akan berlaku mulai 1 Januari 2024,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, keputusan untuk menerima enam negara tersebut sebagai anggota diambil secara konsensus oleh lima negara anggota saat ini, yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afsel. “Kami mengambil keputusan secara konsensus dan telah menyetujui prinsip pedoman, standar, kriteria, dan prosedur eskpansi BRICS,” ujar Ramaphosa.

BRICS menggelar KTT ke-15 di Johannesburg, Afsel, pada Selasa hingga Kamis pekan ini. Sebelum dan selama KTT berlangsung, isu ekspansi keanggotaan telah berembus kuat. Afsel selaku tuan rumah sudah secara terbuka mendukung gagasan perluasan anggota BRICS. India, Brasil, dan Cina pun satu suara dengan Afsel.

Ramaphosa sempat menyampaikan bahwa lebih dari 20 negara telah mengajukan permohonan keanggotaan BRICS. Indonesia pun kerap disebut sebagai negara yang berminat bergabung dengan koalisi yang terbentuk pada 2009 itu.

Isu Dedolarisasi

Baca Juga


Selain ekspansi anggota, isu lain yang mencuat pada KTT BRICS ke-15 adalah soal pengurangan ketergantungan pada dolar AS. Saat menyampaikan pidato secara virtual di KTT BRICS pada Selasa (22/8/2023) lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan antar negara anggota BRICS telah menurun. Dia mengisyaratkan penurunan akan terus berlangsung karena BRICS tengah berupaya menggunakan mata uang nasional untuk perdagangan di antara mereka.

“Tahun lalu (penggunaan dolar AS) hanya 28,7 persen. Kebetulan, dalam KTT ini, kira akan membahas secara rinci seluruh permasalahan terkait transisi ke mata uang nasional di semua bidang kerja sama ekonomi antara kelima negara kita,” ujar Putin, dilaporkan Anadolu Agency.

Dia menambahkan, proses dedolarisasi ekonomi BRICS yang objektif dan tak dapat diubah kini semakin cepat. Menurutnya, New Development Bank yang dibentuk BRICS sebagai alternatif dari lembaga keuangan Barat memiliki peran besar dalam upaya ini.

Menurut Putin, peran BRICS saat ini sudah diperhitungkan. “Saya ingin menunjukkan bahwa negara-negara BRICS, dengan populasi 3 miliar orang, kini menyumbangkan hampir 26 persen PDB global,” ujarnya.

Sebelumnya Wakil Presiden Afsel Paul Mashatile mengatakan, dalam KTT BRICS ke-15, negara anggota akan fokus membahas bagaimana cara mereduksi ketergantungan pada dolar AS. BRICS ingin memanfaatkan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan di antara mereka.

“Saat ini dunia memperhatikan blok ini karena blok ini berada di garis depan wacana global, untuk mengurangi ketergantungan pada dolar,” kata Mashatile kepada para pemimpin bisnis dari negara anggota BRICS pada Senin (21/8/2023) malam, dilaporkan Bloomberg.

Kendati demikian, dia menekankan, BRICS tidak memiliki niat untuk bersaing dengan Barat. “Kami menginginkan ruang kami dalam bisnis global,” ujar Mashatile.

Pada Juni lalu, BNP Paribas sempat menyampaikan dalam catatannya bahwa kondisi sudah siap untuk mengurangi dominasi dolar dalam perdagangan global, bahkan jika prosesnya berlangsung lambat dan bertahap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler