Arab Saudi Incar Peran Lebih Besar di Panggung Dunia Setelah Jadi Anggota BRICS
Arab Saudi secara ambisius ingin menjadi kekuatan besar di panggung global
REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Masuknya Arab Saudi menjadi anggota kelompok negara BRICS, menyoroti upaya ambisius negara ini untuk menjadi kekuatan besar di panggung global. Saudi juga berusaha menciptakan sebuah tandingan bagi aliansi yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan Amerika Serikat (AS), yang pernah dipandang sebagai kekuatan besar.
Kerajaan ini mengantisipasi lebih banyak kerja sama dengan negara-negara BRICS, menteri luar negeri Saudi mengatakan pada hari Kamis (24/8/2023), setelah kelompok ini memutuskan mengundang Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Mesir dan Argentina untuk bergabung jadi anggota.
"Kami berharap dapat mengembangkan kerja sama ini untuk menciptakan peluang pembangunan dan ekonomi baru serta meningkatkan hubungan kami ke tingkat yang dicita-citakan," ujar Pangeran Faisal bin Farhan dalam KTT BRICS.
Arab Saudi, salah satu negara Arab yang paling kuat dan berpengaruh, dan tetangganya UEA, telah semakin mengejar jalan mereka sendiri setelah adanya kekhawatiran bahwa AS kurang berkomitmen terhadap keamanan kawasan strategis.
"Kami melihat Saudi mengabaikan kepentingan AS di beberapa bidang: kemitraan pasar minyak Saudi-Rusia, dalam hubungan Riyadh yang semakin erat dengan Cina, dan dalam serentetan penolakan kerajaan untuk meningkatkan produksi minyak ketika Washington memintanya," kata Jim Krane, seorang peneliti di Rice University's Baker Institute di Houston.
"Sudah lama sekali sejak Arab Saudi muncul dari bawah bayang-bayang AS dan kerajaan ini telah memetakan jalur yang semakin tidak selaras yang membuatnya bertentangan dengan kepentingan AS."
Cina, pelanggan minyak terbesar Arab Saudi, telah memimpin seruan untuk memperluas blok kekuatan pasar negara berkembang - yang hingga saat ini terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan - untuk menjadi penyeimbang bagi Barat.
Dalam upaya memberi penekanan terjadinya pergeseran geopolitik, Arab Saudi menjadi tuan rumah bagi kunjungan Presiden Cina Xi Jinping pada bulan Desember lalu. Situasi itu setelah Presiden AS Joe Biden gagal dalam kunjungannya ke Arah Saudi untuk meyakinkan negara ini agar meningkatkan produksi minyak untuk menjinakkan harga bensin AS yang tinggi.
Krane mengatakan bahwa penetapan harga minyak dalam mata uang non-dolar adalah kekhawatiran terbesar Washington.
"Cina telah menekan Arab Saudi untuk menetapkan harga minyak dalam renminbi selama beberapa waktu," katanya. "Pemerintahan Biden sedang mengejar masalah ini dalam kerangka kerja Kesepakatan Abraham. Jadi, kerajaan ini tampaknya berada dalam posisi yang patut ditiru untuk "menyeimbangkan" antara Beijing dan Washington, mengikuti pihak mana pun yang menawarkan hadiah terbesar."
Kesepakatan Abraham adalah kesepakatan yang diperantarai AS yang menormalkan hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk, Uni Emirat Arab dan Bahrain.
"Kepemimpinan melihat BRICS sebagai salah satu pengelompokan penting yang layak mendapat perhatian lebih besar dari Riyadh, mengingat pentingnya Cina/India dalam tatanan global," kata Ayham Kamel, kepala Timur Tengah dan Afrika Utara di Eurasia Group.
"Namun, Riyadh tidak hanya berfokus pada BRIC dan juga melihat G20 dan forum-forum lain sebagai kunci bagi strategi Arab Saudi untuk meningkatkan pengaruh geopolitiknya," ujarnya.