Kementerian BUMN Libatkan BPIP dalam Rekrutmen Karyawan
Kementerian BUMN berharap rekrutmen menghasilkan karyawan terbaik.
REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Deputi Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN Tedi Bharata mengatakan melibatkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam proses rekrutmen karyawan BUMN berikutnya.
Hal ini disampaikan Tedi Bharata menanggapi arahan Menteri BUMN Erick Thohir yang meminta dilakukan pengetatan proses rekrutmen pascapenangkapan tersangka dugaan tindak pidana terorisme yang merupakan karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
“Nah antisipasi ini yang sekarang sedang kita diskusikan dengan BNPT dan Densus 88. Dan, kita akan libatkan BPIP, itu badan yang akan kita libatkan dalam perekrutan karyawan BUMN ke depannya,” kata Tedi di Badung, Bali, Minggu.
Kementerian BUMN saat ini masih terus berdiskusi secara internal dengan BNPT dan Densus 88, bahkan mereka melakukan pertemuan dengan 30 ribu karyawan di BUMN bidang transportasi perkeretaapian itu.
“Benar kita kemarin ada sesi untuk wawasan kebangsaan, kita sampaikan kepada seluruh karyawan PT KAI komitmen kita untuk ideologi pancasila, wawasan kebangsaan itu terus berjalan,” ujarnya.
Saat ditemui disela-sela Kompetisi Bio Farma x MIT Hacking Medicine, Tedi menegaskan bahwa pihaknya tak akan segan memecat karyawan yang terlibat dengan unsur terorisme, hal ini juga berlaku untuk BUMN bidang lainnya.
“Oh pasti (dipecat) tidak ada ampun kalau seperti itu. Bidang lain juga sama diberi penyuluhan, untuk semuanya,” ucapnya.
Deputi milenial di Kementerian BUMN itu juga menjelaskan bahwa proses rekrutmen bersama karyawan akan terus mengalami improvisasi, dan keamanannya sendiri sesungguhnya terjamin.
Ia menjelaskan proses tes pada rekrutmen bersama dilakukan sepenuhnya daring, namun ada sistem perekam yang akan memantau peserta jarak jauh.
“Jadi akan ketahuan yang menutup kamera ya tidak bisa kita teruskan, ada kecurangan ya kelihatan,” ujarnya.
Selain itu yang kerap terjadi adalah permasalahan administrasi, di mana pelamar dengan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) justru mendaftar pada perusahaan yang mengharuskan pelamar bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA), sehingga mau tidak mau jalannya terhenti.