Pertama Kali Terjadi di Dunia, Cacing Hidup Ditemukan di Otak Wanita Australia

Selama bertahun-tahun,wanita ini sakit perut, batuk, dan berkeringat pada malam hari.

Dok. ww.freepik.com
Otak (ilustrasi). Pertama kali di dunia, cacing hidup ditemukan di otak seorang wanita.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan mengatakan, cacing berukuran delapan sentimeter telah ditemukan hidup di otak seorang wanita Australia. Menurut ilmuwan, kejadian ini pertama kalinya di dunia. 

Baca Juga


Cacing yang strukturnya seperti tali ini diambil dari lobus frontal pasien yang rusak selama operasi di Canberra tahun lalu. “Ini jelas bukan apa yang kami harapkan. Semua orang terkejut,” kata dr Hari Priya Bandi. 

Wanita Australia itu berusia 64 tahun. Dia selama berbulan-bulan menderita gejala seperti sakit perut, batuk, dan berkeringat pada malam hari yang kemudian berkembang menjadi kelupaan dan depresi. 

Dia dirawat di rumah sakit pada akhir Januari 2021. Hasil pemindaian kemudian menunjukkan “lesi tidak lazim di lobus frontal kanan otak”. Namun penyebab kondisinya baru terungkap melalui pisau dr Bandi saat biopsi pada Juni 2022. Parasit merah itu mungkin masih hidup di otaknya hingga dua bulan.

Dilansir laman BBC, Kamis (31/8/2023), wanita tersebut, yang tinggal di dekat kawasan danau di negara bagian tenggara New South Wales, kini telah pulih dengan baik. Kasus yang dialaminya diyakini sebagai kasus pertama invasi dan perkembangan larva di otak manusia. Hal tersebut disampaikan para peneliti dalam jurnal Emerging Infectious Diseases yang melaporkan kasus tersebut. 

Ahli bedah saraf yang menemukan cacing tersebut mengatakan, dia baru mulai menyentuh bagian otak yang tampak aneh pada hasil pemindaian ketika dia merasakannya. “Saya pikir, astaga, rasanya lucu, Anda tidak bisa melihat sesuatu yang lebih abnormal,” kata dr Bandi. 

“Dan kemudian saya benar-benar bisa merasakan sesuatu, dan saya mengambil pinset saya dan mencabutnya dan saya berpikir, ‘Astaga! Apa itu? Itu bergerak!',” ujarnya.

Menurutnya, semua orang kaget. Cacing yang ditemukan itu bergerak, cukup kuat, di luar otak. Dr Bandi kemudian berkonsultasi dengan rekannya Sanjaya Senanayake, seorang ahli penyakit menular, tentang apa yang harus mereka lakukan. 

Dr Senanayake mengutarakan semua orang di ruang operasi mendapat kejutan besar ketika ahli bedah mengambil beberapa tang untuk menemukan kelainan. Kelainan itu ternyata adalah cacing merah muda berukuran delapan sentimeter yang menggeliat dan hidup. 

“Bahkan jika faktor menjijikannya dihilangkan, ini adalah infeksi baru yang belum pernah didokumentasikan sebelumnya pada manusia,” kata dr Senanayake. 

Para peneliti memperingatkan bahwa kasus ini menyoroti meningkatnya bahaya penyakit dan infeksi yang ditularkan dari hewan ke manusia. Cacing gelang Ophidascaris robertsi umum ditemukan pada ular piton karpet. Ular piton karpet adalah ular tidak berbisa yang banyak ditemukan di Australia. 

Para ilmuwan mengatakan, wanita tersebut kemungkinan besar tertular cacing gelang setelah mengumpulkan sejenis rumput asli, sayuran Warrigal, di samping danau dekat tempat tinggalnya. Daerah tersebut juga dihuni oleh ular piton karpet. 

Dalam tulisannya di jurnal tersebut, pakar parasitologi asal Australia, Mehrab Hossain, mengatakan dia mencurigai wanita tersebut menjadi “inang yang tidak disengaja” setelah menggunakan tanaman yang diambil dari makanan tersebut- yang terkontaminasi oleh kotoran ular piton dan telur parasit- untuk memasak. 

Dr Hossain menulis, “Invasi otak larva Ophidascaris belum pernah dilaporkan sebelumnya”. “Pertumbuhan larva tahap ketiga pada manusia sangat penting, mengingat penelitian eksperimental sebelumnya belum menunjukkan perkembangan larva pada hewan peliharaan, seperti domba, anjing, dan kucing,” tulis dr Hossain. 

Dr Senanayake yang juga seorang profesor kedokteran di Australian National University (ANU)-mengatakan kepada BBC bahwa kasus ini merupakan sebuah peringatan. Tim ANU melaporkan bahwa 30 jenis infeksi baru telah muncul dalam 30 tahun terakhir. Tiga perempatnya bersifat zoonosis, yaitu penyakit menular yang berpindah dari hewan ke manusia. 

Bagi dr Senanayake, hal ini menunjukkan seiring bertambahnya populasi manusia, kita semakin mendekat dan merambah habitat hewan. “Ini masalah yang kita lihat berulang kali, apakah itu virus Nipah yang berpindah dari kelelawar liar ke babi peliharaan dan kemudian ke manusia, apakah itu virus corona seperti Sars atau Mers yang berpindah dari kelelawar ke hewan sekunder dan kemudian ke manusia,” ujar Dr Senanayake. 

“Meskipun Covid-19 kini perlahan mereda, sangat penting bagi para ahli epidemiologi, dan pemerintah untuk memastikan adanya pengawasan penyakit menular yang baik”.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler